GUSSTRAV MUDIK 2017 (Tangerang-Pacitan via Pantura)
Yaass!!
Akhirnya ini tahun ketiga gue nulis artikel tentang perjalanan mudik, dan tahun
ke-6 gue mudik naik motor. Hahaha, ini bukan sebuah achievement atau hal yang
patut dibanggakan sih, cuma sekedar merangkai cerita perjalanan (panjang) aja
hehe. Tentunya rute mudik gue tahun ini masih sama dengan tahun-tahun
sebelumnya, karena kampung halaman gue gak bakal pindah (yaiyalahhh), menempuh
jarak sekitar 720 km,sehari semalam, dari kota Tangerang menuju Pacitan, Jawa Timur.
23
Juli 2017
Tahun
kemarin gue berangkat jam 7 pagi, sampai di kampung besok siangnya. Dan tahun
ini gue pilih berangkat lebih awal, yakni jam 5 pagi dengan harapan besok
sampai kampung gak terlalu siang. Oia, tahun ini gue mudik gak sendiri
(ciiaaaa...) tapi bukan sama calon pendamping hidup (bfffttt!!) hahaha,
kebetulan gue punya temen asal Slawi, Tegal, jadi dia bareng gue sampai Tegal
nanti, sebut saja Eko, atau Panjul juga boleh haha. Lumayan lah, di jalan kalau
gue capek atau ngantuk ada yang gantiin nyetir kan. Dan pagi itu setelah shalat
Subuh, kita bergerak menuju jalur Pantura, start dari Batuceper, Tangerang.
Perjalanan
pagi buta saat itu, dari Tangerang, melintas jalanan ibukota Jakarta, terasa
lancar dan bebas hambatan. Maklum mungkin masih pagi-pagi. Nah, sampai di Bekasi,
tepatnya menuju arah Tambun, macet sepanjang jalan. Dugaan gue: oh, mungkin mau
lewat depan terminal Bekasi, jadi wajar macet. Lahhh ternyata guys, sampe
Cibitung, sampe masuk Cikarang, padat merayap. Gilak! Dari jam 7 sampe jam 9 cuma
ngubek ubek Bekasi. Oh, waktuku terbuang sia-sia. Ujung kemacetan pun gak
jelas, jadi intinya cuma karena peningkatan jumlah kendaraan yang didominasi
roda dua yang mau ngarah ke Karawang Cikampek, tentunya mau mudik, masa mau
nonton lenong. Sempat emosi jiwa juga sih, tapi itulah mudik, seninya kadang
gak bisa ditebak, tapi tetap ada. Abis ‘sarapan’ macet di Bekasi, masuklah kita
di Karawang. Masih ramai banget, sampai akhirnya melintas jalur seperti
biasanya, di Jalan Lingkar Tanjungpura. Jalan ini adalah jalan pintas menuju
arah Cikampek tanpa harus melewati pusat kota Karawang. Tapi, biasanya
kendaraan roda dua tidak diperbolehkan lurus saat ada percabangan jalan di
samping bypass di jalan lingkar ini. Alasannya mungkin biar gak menambah
kemacetan di jalur Cikampek terutama saat melintas di pusat kota, mall, pasar,
dan pusat-pusat keramaian lainnya. Jadi saat akan melintas di bypass Jalan
Lingkar Tanjungpura, kendaraan roda dua dialihkan ke kiri menuju jalan
altrenatif melalui Wadas Cilamaya. Jalur ini emang terkesan lebih jauh dan
lama. Jalanannya pun gak begitu lebar, karena melintas di kawasan pemukiman
pedesaan, dan juga persawahan. Kalau gue jujur lebih pilih lurus aja naik
bypass, menuju Cikampek, tanpa harus lewat jalur alternatif ini. Tapi apa daya,
setelah istirahat bentar di sisi jalur lingkar ini, jalan menuju bypass ditutup
dan mau gak mau gue lewat jalur alternatif menuju Cilamaya. Kzl.
Ngeksis dulu depan ruko
Kendaraan roda dua tolong ambil kiri! (teriak Pak Polantas)
Harapan
jam 12 siang udah sampe Indramayu ternyata cuma mimpi. Sejak pagi gue gak liat
sepercik pun cahaya mentari karena pagi itu mendung. Ngeri hujan turun, dan
bener aja. Sampai di Subang, tepatnya di Ciasem, hujan pun turun dengan deras
dan dadakan bak tahu bulat keliling komplek. Akhirnya gue dan Eko putusin buat
berhenti nyari tempat neduh. Rumah-rumah di pinggir jalur Pantura tiap musim
mudik pasti selalu rame oleh para pemudik yang istirahat sambil jajan, karena
memang depan rumah dipake jualan dengan promo tambahan fasilitas toilet dan
juga rest area. Tanpa pikir panjang, saat hujan itu gue langsung belokin motor
ke salah satu halaman rumah warga yang juga kebetulan dipake jualan di depan
rumahnya. Dan ternyata udah banyak yang neduh disitu. Kita neduh bentar di
situ. Sempat ada tragedi kocak juga , terpal tempat warung yang kita pakai
neduh rame-rame dengan pemudik lainnya hampir ambruk gara-gara gak muat nampung
air ujan. Jadilah main sogok-sogokkan air di terpal biar airnya tumpah.
Hadehhh.. honestly gue paling gak suka sama hujan saat perjalanan kemana pun,
Tapi yaudah lah, namanya juga cuaca ya kan! Setelah hujan reda, perjalanan pun
lanjut menuju Pamanukan (masih Subang) hingga masuk perbatasan
Subang-Indramayu. Seperti tahun-tahun sebelumnya, di sini gue pasti nemu
orang-orang berburu rejeki dengan berjejer di sepanjang jalan sekitar perbatasan
(dekat jembatan Kalisewo) menunggu lemparan uang dari pengendara yang melintas
sambil membawa sapu. Meski tidak diperbolehkan, aksi ini seakan jadi sebuah
tradisi tahunan di sini. Selain membahayakan diri sendiri, hal ini juga bahaya
buat pengguna jalan. Gue pernah hampir jatuh gara-gara ngerem mendadak saat seorang
warga tiba-tiba lari tanpa dosa ke tengah jalan buat mungut uang. Gue juga
pernah lihat tayangan berita di TV, dari pihak polantas pun sebenarnya
menghimbau kepada para pengendara yang melintas di jalur ini untuk tidak
melempar uang dengan tujuan agar tidak menimbulkan kemacetan. Dan yang beda
dari tahun kemarin adalah, menurut gue ‘peserta’
dari aksi pungut koin ini lebih banyak. Bahkan kakek-kakek, nenek-nenek sampai
bocah kecil pun berpartisipasi. Sedih juga sih, mereka ngelakuin itu pasti demi
sesuap nasi juga mungkin. Tapi sebenarnya ada mitos yang berkembang dari aksi
warga yang memungut uang di sekitar jembatan Kalisewo ini. Apa mitosnya? Cari
di google, banyak :P
Lumayan deras
After rain, Ciasem, Subang
Break (lagi) di Subang
OK
kita tinggalkan aksi pungut-pungut tadi, perjalanan gue sama Eko masih lanjut
melintasi jalan panjang Indramayu. Emang, Indramayu menurut gue jalurnya
panjang banget sampai akhirnya masuk ke Cirebon. Buat kalian yang melintas di
sini, tepatnya di daerah Eretan, Indramayu, bisa juga pilih rest area atau
break di daerah tepi laut Jawa ini. Kalau lewat jalanan Indramayu yang samping
nya keliatan lautnya, berarti Anda sudah sampai di Eretan. Lanjut menuju
Kandanghaur, Losarang, Lohbener, dan mengarah ke perbatasan Indramayu-Cirebon.
Tahun kemarin gue sampai perbatasan ini jam 3 sore. Tapi kali ini lebih telat 2
jam! Jam 5 sore baru mau masuk Cirebon. Itupun masih jauh ke arah kotanya.
Sempat istirahat bentar buat ngeVlog, kita pun jalan lagi.
Batas Indramayu - Cirebon
Poto bae kapan tekane? Hahaha
Panjul
Seperti
biasa, saat masuk di Palimanan, Cirebon , yang merupakan kawasan perkotaan,
kepadatan dan kemacetan sering terjadi di sini. Sampai masuk waktu maghrib,
kita pun masih di kawasan Cirebon. Buka puasa di sebuah SPBU sambil antri isi
BBM. Perjalanan lanjut menuju batas Jabar-Jateng di daerah Losari dan masuk ke
daerah Brebes. Karena nyetirnya lumayan kenceng juga si Eko, akhirnya
Cirebon-Tegal ditempuh dengan waktu kurang lebih 2 jam. Rencana awal, Eko turun
di Tegal di depan terminal Tegal. Tapi realitanya dia ngajak gue mampir tempat
dia sekalian mau nraktir sate kambing enak di tempat dia, di Slawi, (modus) yang
jaraknya kurang lebih setengah jam perjalanan. Lumayan juga ya, padahal si Eko bilang
cuma 15 menit dari Tegal. Dengan iming-iming sate kambing dan sekalian pengen
tau daerah Slawi, gue pun mengiyakan ajakan Eko, sang partner dari Tangerang. Setelah
melewati jalanan yang menurut gue asing karena belum pernah lewat, sampailah
kita di Slawi. Gokil, emosi juga! Si Eko pake acara lupa jalan rumahnya kemana
hahaha! Harusnya dari bundaran Slawi belok kiri, dia malah belok kanan. Mungkin
dia mau ngajak gue #ExplorePurwokerto wkwkwk. Setelah cek google maps, akhirnya
kita sampai di tempat yang kita tuju, yakni di warung makan sate kambing muda
Bu Tomo. Istirahat sambil menikmati traktiran sate kambing, agak ngantuk juga
sebenernya. Padahal masih kudu lanjut perjalanan lagi ke Pacitan. Dan jam 10
pun gue putuskan buat lanjut, dan berpisah sama Eko. Hohoho, thank’s Panjul,
makasih ngebutnya! Ngeri! Hahahaha
Palimanan, Cirebon, terpantau padat
Kembali
jadi solo rider, gue kembali mengarah ke kota Tegal buat balik ke jalur
pantura, mengingat jalur yg gue lewatin tadi adalah jalur ke Slawi-Purwokerto. And
welcome to night riding! Dimana bakal banyak gangguan terutama mata karena
ngantuk. Tapi gue selalu bawa kopiko 78° yang kopi susu karena kandungan
kafeinnya lebih banyak jadi gue lebih lama tahan ngantuk. Lanjut melintasi
Pemalang yang jalanannya super ngeselin karena bergelombang banyak tambalan.
Gak enak banget pokoknya. Trus ke Pekalongan, dan Batang, melewati jalanan yang
naik turun dan sesekali tikungan, tanda kalo bentar lagi lewat kawasan alas
roban. Perlu hati-hati banget saat melintas di di jalur ini terutama malam
hari. Selian banyak tikungan, tanjakan dan turunan, permukaan aspal yang
bergelombang kadang juga membahayakan pengendara khususnya pengendara motor. Sekitar
jam setengah 4 pagi, gue udah sampai di daerah Semarang. Gue berhenti buat
nyari warung sekalian istirahat, dan pastinya makan sahur, pas banget hari itu
hari terakhir puasa. Sampai jam 4 gue istirahat dan makan sahur, gue pun
lanjutin perjalanan melalui kota Semarang. Seperti biasa, gue sering banget
lewat Semarang pagi-pagi buta kayak gini. Setelah subuh pun gue langsung
mengarah ke Ungaran dan tibalah pagi hari yang cerah sampai di Salatiga.
Ungaran-Bawen
Morning greeting from Salatiga
Hai, Merbabu !
24
Juli 2017
Jam
setengah 6 pagi gue menikmati indahnya sunrise dari Jalur Lingkar Salatiga
(JLS). Berhenti di sisi jalan, menyempatkan diri buat foto-foto keindahan view
yang terpampang pagi itu, salah satunya view gunung Merbabu. Mungkin salah satu
penyebab perjalanan gue lama adalah tiap ada objek yang menurut gue bagus ya
gue harus berhenti buat foto hahaha. Tapi kalau gak ada macet mah tetap aja
lancar. Dan setelah puas dengan hasil jepretan pagi yang segar itu, gue lanjut
menuju arah Boyolali dan selanjutnya ke arah Solo. Lepas Solo, selanjutnya
adalah Sukoharjo. Pagi itu jam 8, gue putuskan berhenti dulu di sebuah SPBU
sambil isi bensin. Kok ngantuk ya.. Hahaha, sudah biasa, kalau udah ketemu pagi
gini pasti masuk jam-jam kritis, ditambah bukan puasa yg pastinya kurang tidur.
Bawaannya pengen tidur mulu. Ternyata kopi hitam yang gue minum saat sahur di
Semarang cuma kuat nahan ngantuk gue sampai di Solo. Nyatanya di Sukoharjo,
sampai Wonogiri gue jadi kacau. Why? Inilah resiko mudik naik motor. Pasti
ngantuk di jalan, solusinya ya kudu istirahat. Tapi kalau kelamaan istirahat
gak sampe-sampe donk hehehe. Sesekali gue ngalamin apa yang namanya “microsleep”,
tidur sesaat, selama sekian bahkan sepersekian detik saat nyetir kendaraan.
Bahaya sebenernya. Tapi untung gak kenapa-kenapa. Sampai akhirnya jam 11 sampai
di Wonogiri kemudian masuk Kabuaten Pacitan. Nah, selama jalur ini, gue
ngalamin keanehan di pola pikir gue, mungkin karena faktor kelelahan atau
ngantuk. Tapi baru kali ini gue ngrasain hal ini. Gak tau kenapa setiap mau
nyalip kendaraan di depan gue, gue selalu mikir aneh. Contoh: “ini mobil kalo
gue salip boleh gak ya? Kalau gue nyalip sopan gak ya?” Hahaha pemikiran macam
apa ini. Padahal jalanan gak rame-rame banget. Maklum, kalau udah masuk
Wonogiri-Pacitan seakan-akan yang mudik cuma gue doang. Tapi syukurlah gue
berhasil melalui cobaan aneh itu hahaha, meski pikiran itu muncul lagi saat
melintas di JLS Pacitan. Heran gue hahaha.
YES !
Dan di siang yang cukup terik, jam
12 siang gue udah sampai di kota Pacitan. Udah seneng lah, meski masih satu jam
lagi sampai rumah dan ketemu keluarga. Kalau diitung-itung total perjalanan
mudik tahun ini dari Tangerang sampai Pacitan kurang lebih 30 jam. Udah biasa
kalau perjalanan mudiknya, karena pasti ketemu macet, kaya tahun kemarin
misalnya di Brebes karena faktor Brexit. Meski tahun ini Brebes lancar, tapi
karena dari Bekasi gue udah kejebak macet dan sempat mampir Slawi juga jadi OK
lah perjalanan gue agak sedikit lama.
Kenapa gue bilang lama, karena kalau lancar, biasanya pas perjalanan balik dari
Pacitan ke Tangerang cuma perlu waktu 24 jam. Itu gue lho ya, gak tau deh kalau
pengendara motor lain yang motor dan pengendaranya punya jiwa pembalap. Tapi
tahun ini perjalanan balik pun mau gak mau kudu gue tempuh selama kurang lebih
28 jam. Ramainya arus balik saat melintas di Semarang mengarah ke Kendal, trus
dari Batang sampai sebelum persimpangan jalan menuju arah gerbang tol Kandeman,
dan juga macet di Pamanukan, Subang menuju Cikampek pun jadi kendala perjalanan
balik gue ke perantauan, ditambah gue balik pas puncak arus balik. Kalau digambarkan
dengan satu kata tentang mudik tahun 2017 ini: CAPEK. Tapi alhamdulillah masih
bisa kumpul keluarga di kampung halaman, libur seminggu sampe puas di kampung,
ikut bapak panen padi, explore pantai-pantai dan masih banyak cerita-cerita
seru selama di kampung halaman, Pacitan, Jawa Timur.
Sekian
cerita mudik gue tahun ini, gimana cerita mudik Anda?
Komentar
Posting Komentar