Ini
bukan pertama kalinya gue jalan-jalan ke Garut. Selain Bandung, Garut menurut
gue punya magnet tersendiri buat
dijelejahi setiap sudut keindahan alamnya. Satu hal yg terlintas di benak gue
saat denger kata Garut adalah “dingin”. Hehehehe... Gak heran karena
kota/kabupaten yg satu ini emang dikelilingi banyak gunung dan pegunungan, plus
dengan keindahan alam lainnya.
Libur
2 hari membuat gue gak mau sia-siain waktu gitu aja. Tepatnya tgl 24-25
Desember 2015 lalu, gue putuskan buat ‘maen’ ke Garut dengan 2 destiansi wisata
sekaligus selama 2 hari, yakni Situ Cangkuang dan Talaga Bodas. Tapi
beruntungnya, setiap destinasi wisata tadi punya bonus yg gak kalah menarik.
And these are the stories! Let’s go!
Jangan
kira gue perjalanan gue ke Garut kali ini pake bus, mobil, atau angkutan umum
lainnya. Demi penjelajahan maksimal di sana, gue dan partner gue sepakat naik
motor dari Tangerang ke Garut! Hahaha. Mayan capek brohh! Itung-itung ngirit
biaya perjalanan juga kan. Dan gue berangkat tgl 24 pagi jam setengah 7.
Menembus kemacetan di mana-mana, menguras tenaga dan emosi, maklum saat itu
lagi long weekend libur natal. Saking rame dan padat nya perjalanan pas
berangkat, OK, gw coba kalem dan anggep itu semua adalah mudik, bahkan lebih dari
suasana mudik hahaha.
Melewati
Cianjur, Padalarang, Bandung, masuk Nagrek and finally Garut I’m coming!!!
Saking seringnya ketemu macet di jalan, sampe Garut pun jam 4 sore lewat, itu
pun masih di daerah Leles. Emang sih, tujuan awal gue adalah pgn maen ke Situ
Cangkuang. Udah gue prediksi sebelumnya, paling telat sampe sana sore. Dan
bener aja, setelah nemu petunjuk arah menuju Situ Cangkuang, akhirnya gue setir
motor menuju danau di daerah Leles, Kab. Garut itu. Kurang lebih 30 menit,
dalam perjalanan menuju danau, temen gue sempet bertanya-tanya, apa masih buka
wisata Situ Cangkuang sore-sore hampir jam 5? Gue optimis masih buka sambil
memacu motor gue lebih cepet. Sempat nanya-nanya warga sekitar karena bingung
pas nemu percabangan jalan. Dan sempat muter kejauhan juga buat sampe di danau,
tapi akhirnya gue dan teme gue sampe lah di depan area wisata Situ Cangkuang.
Sepi. Itu yg pertama gue lihat. Mungkin karena emang udah sore. Setelah parkir
motor di tepi jalan (tarif 3 ribu, dan ada penjaganya), gue masuk dan
nyari-nyari loket buat beli tiket. Harga tiket masuk di wisata Situ Cangkuang
adalah Rp 5000,-. Setelah bayar tiket, gue masih kebingungan gimana caranya
kalo mau naik rakit buat ke Candi Cangkuang yg ada di seberang danau Cangkuang
ini. Di sini kita bisa bayar Rp 4000,- buat bisa nak rakit menuju ke wisata
Candi Cangkuang, tapi harus nunggu penumpang penuh baru rakit jalan. Maksimal
20 penumpang. Tapi kalo mau buru-buru pengen langsung berangkat, kita harus
merogoh kocek lumayan dalam, sekitar Rp 80.000,-. Amazing! Hahaha.. Meski hari
udah mulai gelap tapi masih ada beberapa penumpang yg pengen naik rakit, gue
milih buat nunggu, jadi gue cuma perlu bayar Rp 4000,- .
|
Bersiap menuju seberang, Pulau Panjang |
|
Rakit ngetem |
|
Ini operator rakit nya hahaha |
|
Sampai di daratan Pulau Panjang |
Untuk
mencapai lokasi Candi Cangkuang, butuh waktu sekitar 5 menitan lah nyebrang pake
rakit. Selain hamparan air danau yg tenang, terpapar keindahan gunung-gunung
khas Garut hehehe. Beberapa rakit pun berlalulalang mengantar penumpang yg
berkunjung ke wisata ini. Gak cuma orang dewasa yg jadi pengemudi rakit di
sini, tapi juga ada beberapa anak kecil yg udah mahir mengemudikan rakit menuju
seberang. Terihat unik menurut gue. FYI guys, Candi Cangkuang ini emang
terletak di sebuah daratan di seberang danau, yg bernama Pulau Panjang. Di
pulau ini ada Candi Cangkuang dan sebuah kampung adat bernama Kampung Pulo.
Jadi 1 hal yg menurut gue asik di wisata Situ Cangkuang adalah, kita bisa main
ke 3 destinasi sekaligus dalam satu waktu, danau, candi, dan kampung adat.
Sesampainya
di daratan pulau Panjang, yg pertama gue lihat adalah sebuah candi yg bercokol
di atas sebuah bukit kecil. Kenapa gue bilang bukit? Hehehe.. karena tempatnya
emang agak tinggi dan ada beberapa anak tangga untuk sampai kesana. Di
sepanjang jalan menuju Candi Cangkuang banyak kios yg menjajakan
souvenir-souvenir khas Cangkuang. Mulai dari kerajinan tangan berupa replika
candi, gantungan kunci, patung kayu, baju, dan jajanan. Ada juga jalur khusus
buat pengunjung yg ingin masuk ke area candi. Tapi mungkin karena waktu itu gue
kesorean dan jalur tadi udah ditutup, jadi gue lewat jalur lainnya yg
mengharuskan gue masuk dulu lewat kompleks rumah adat Kampung Pulo. Karena
niatnya pengen ke candi dulu, gue dan partner trip gue sepakat buat numpang
lewat aja pas lewat depan kompleks Kampung Pulo, dan sampailah di lokasi Candi
Cangkuang. Sore yg menjelang senja membuat suasana di sekitar candi agak tenang
dari hiruk pikuk pengunjung. Rindangnya pepohonan juga menambah kedamaian
suasana di area ini. Perlahan gue mendekat ke dinding candi yg ditemukan tahun
1966 ini. Ketinggiannya 8 meter, dengan luas 4m x 4m. Gak ada ukiran-ukiran
atau relief di dinding candi ini. Di sisi sebelah timur, ada satu pintu yg
dengan anak tangga di depannya. Hanya tertutup pintu berjeruji besi, membuat
kita bisa lihat apa yg ada di dalam candi. Memang, di dalam candi ini ada
sebuah ruangan yg gak bergitu luas, dan terdapat sebuah patung dewa Shiwa yg
sedang duduk bersila. Buat pengunjung yg ingin melihat, dianjurkan melepas alas
kaki saat menaiki anak tangga. Dan satu hal yg juga baru gue ketahui, ternyata
Candi Cangkuang ini satu-satunya candi
Hindu yg ada di Jawa Barat, guys! Bicara tentang candi Hindu, pasti kita mikir
mungki disini dulu ada sebuah peradaban kuno yg masyarakatnya menganut
kepercayaan Hindu. Tapi, yg unik adalah, tepat di samping Candi Cangkuang ini
ada sebuah makam yg diyakini sebagai makam pendiri dari kampung adat Kampung
Pulo, bernama Embah Dalem Arif Muhammad. Legenda yg berkembang, dulunya beliau
adalah utusan dari Kerajaan Mataram yg
ditugaskan untuk menyerang VOC di Batavia. Namun karena gagal dan malu untuk
kembali ke kerajaan, beliau memilih untuk menetap di Kampung Pulo dan
menyebarkan agama Islam di daerah tsb. So, that’s why satu area ini terdapat 2 bangunan
dari kebudayaan yg berbeda, Hindu dan Islam, ada candi dan ada makam pendiri
Kampung Pulo. Dan makam embah dalem Arif Muhammad ini juga sering diziarahi
oleh pengunjung. Pas banget waktu gue dateng, gue lihat beberapa orang yg
ziarah dan lagi baca-baca shalawat serta memanjatkan doa-doa.
|
Sisi barat Candi Cangkuang |
|
Tampak depan candi. Lepas alas kaki kalo pengen naik tangganya |
|
Ada yang ziarah |
Usai
foto-foto, gue kembali ke bawah dan menuju kompleks rumah adat Kampung Pulo.
Meski hari udah mendekati waktu maghrib, tapi gue sempatin buat melihat lebih
dekat dengan kampung adat ini. Mungkin dilihat dari bangunan rumah terlihat
biasa saja, hanya terlihat lebih khas rumah di daerah sunda. Yang unik adalah
di kompleks ini hanya terdapat 7 bangunan, yg terdiri dari 6 rumah dan 1
masjid. Dan setiap rumah hanya boleh dihuni oleh satu kepala keluarga saja.
Jadi kalo ada anggota keluarga yg menikah, maka keluarga baru tersebut harus
meninggalkan kampung ini. Tapi jika ada anggota keluarga yg meninggal, gak
mungkin donk rumah itu dibiarkan kosong. Sehingga boleh diisi kembali oleh
keluarga yg sudah keluar sebelumnya, dengan catatan harus anak perempuan. Jumlah
bangunan di sini melambangkan jumlah anak dari Embah Dalem Arif Muhammad yg
berjumlah 7 orang, yakni 1 orang laki-laki dan 6 perempuan. Keenam rumah saling
berhadapan yg dipisahkan oleh halaman yg cukup luas. Untuk bangunan masjid,
terletak di ujung seakan menjadi penengah antara ke enam bangunan rumah di
sini. Gue sempat bertemu dan ngobrol-ngobrol ringan dengan salah satu penduduk
setempat, namanya Pak Asad. Beliau menerangkan kalo di sini gak ada larangan
atau aturan khusus buat warga kampung Pulo yg ingin mengadu nasib ke luar
daerah/perkotaan, menikah dengan warga luar, serta memiliki barang-barang
elektronik. Pak Asad sendiri bekerja di Bandung, dan saat itu beliau sedang
berkunjung ke rumah saudaranya yg masih menetap di Kampung Pulo. Dan satu hal
lagi yg unik di sini adalah, warga kampung Pulo tidak diperkenankan memelihara
sapi, kambing, dan kerbau. Kalau ternak ayam masih boleh guys, termasuk
memelihara kucing. Dan kucing-kucing di sini lucu-lucuuuuuuuu....... :D
|
Di depan rumah sesepuh kampung Pulo |
|
Sempat ngobrol sama salah satu warga asli, Pak Asad |
|
Bangunan masjid |
|
Halaman yang luas, di ujung sana ada gerbang masuk sebelah barat |
|
Hello kitten ! |
Hari
semakin senja. Sebenernya gue pengen mampir ke rumah sesepuh kampung Pulo ini,
yg rumahnya berdekatan dengan masjid. Tapi karena waktu terbatas dan mulai
menjelaang malam, gue putuskan buat beranjak kembali ke tepi danau buat nyari
rakit yg siap mengantar pulang menuju lokasi awal. Dan baru kali ini gue
ngrasain naik rakit nyebrang danau sambil lihat pemandangan senja yg
bener-bener indahhhh di Garut. Setelah sampai tepi gue dan temen gue langsung
bergegas ke tempat parkir motor. Dan bener aja, saking kesoreannya kita maen
kesini, tinggal motor gue yg masih bercokol di area parkir hehehe.
|
Candi Cangkuang night view |
|
Senja |
Cerita ke situ dan candi Cangkuang ini juga bisa kalian klik dan lihat di video ini.
Usai
sudah perjalanan hari ini dari awal berangkat sampe tiba di danau Situ
Cangkuang. Gak cuma dapet view-view bagus, tapi juga bisa dapet wawasan budaya
dari wisata di area ini. Setelah istirahat sejenak usai maghrib, gue dan temen
gue lanjut mengarahkan motor setia gue ke arah Garut kota. Mau kemana
lagi? Wait for the story!
Komentar
Posting Komentar