Mencari Gunung Guntur, We're Lost! (Part 1)
Apapun
yang gue tulis di blog ini gak jauh dari cerita menarik dan menyenangkan ketika
gue menjelajah tempat-tempat yg punya nilai eksotisme dan indah tentunya. Tapi
kali ini entah kenapa gue pengen share satu cerita yg menurut gue banyak
dukanya daripada senangnya. Tapi whatever the story, ambil sisi positifnya aja
ya...
4
April 2015. Hari itu hari Sabtu. Sekira jam 6 pagi sebuah mobil bak pengangkut
sayur yang kembali ke Garut dari Tangerang sampai di pelataran SPBU Tanjung,
Kecamatan Tarogong, Garut. Ngantuk, lelah setelah dempat-dempetan di di bak
mobil, dan belekan masih menghiasi wajah kami. Kami? Ya, waktu itu gue dan
beberapa temen dari Tangerang emang ada niat mau mendaki Gunung Guntur. Gunung
di Garut yg bisa dibilang yang paling deket dijangkau dari kota Jakarta,
ketimbang gunung lainnya seperti Papandayan atau Cikuray. Apalagi Gunung Guntur
ini kelihatan banget dan ‘seakan-akan’ dekat untuk didaki. Halahh...
angan-angan yang terlalu cetek! Dan akhirnya gue dan temen-temen berduyun-duyun
turun dari mobil bak tadi dan pastinya dengan barang-barang bawaan.
Sampai di SPBU Tanjung, Tarogong, Garut |
Nampak
banyak pendaki lain yang juga mau nanjak ke Guntur. SPBU Tanjung ini emang jadi
tempat favorit dan pilihan bagi para pendaki buat transit dan repacking sebelum
nanjak ke Guntur. Karena pintu masuk jalanan menuju gunung ini gak jauh dari
sini. Singkat cerita, pagi itu kita semua satu tim udah siap buat berangkat
(pastinya udah sarapan dulu pingggir jalan depan SPBU) dan kita juga udah
gabung dengan (seingat gue) ada 3 tambahan personel pendaki dari Garut yg juga
kenalan dari temen gue yang ngadain acara pendakian bareng. Jadi sebenernya itu
acara yg ngadain temen-temen dari sebuah komunitas pecinta alam dari Tangerang,
trus gabung dengan 3 orang dari Garut tadi, yg ‘katanya’ udah pernah nanjak ke
Guntur. Berangkat dari ajakan dan rasa penasaran, gabunglah gue di pendakian
ini. And, here we go!
Let's go ! |
View puncak 1 Gunung Guntur yang terselimuti kabut |
Sekitar
jam 8 pagi kita semua berangkat, tentunya dengan mengaharap kelancaran selama
perjalanan demi menikmati keindahan di puncak gunung Guntur sana. Akses menuju
kaki gunung yang dekat dengan tambang pasir ini sebenernya bisa dijangkau
dengan ‘numpang’ mobil pengangkut pasir yg lalu lalang menuju dan dari kaki
gunung. Memang, di kaki gunung Guntur banyak tambang pasir yang dimanfaatkan
sebagai mata pencaharian. Gak heran kalo jalan menuju kaki gunung lumayan
rusak. Para pendaki umumnya numpang mobil-mobil ini untuk bisa sampai di sana
dengan ongkos sepuluh ribu rupiah. Tapi pagi itu, kita satu tim sepakat buat
jalan kaki, kira-kira jaraknya sekilo lebih! Sampai di tempat registrasi di
depan salah satu rumah warga (mungkin ketua RT setempat), salah satu dari tim
kita mengisi buku tamu dan membayar biaya registrasi waktu itu dan sayangnya
gue lupa berapa. Kita juga dapet pesan, kalo sekiranya cuaca gak mendukung,
hujan misalnya, lebih baik menghentikan perjalanan alias neduh dulu atau break lah bahasa kerennya mahh..
Akhirnya dengan semangat 2015 waktu itu, kita semua lanjutin perjalanan menuju
tepat bawah kaki gunung. Gak lama kami jalan, ada sebuah mobil bak pengangkut
pasir yang lagi berhenti entah karena apa. Supir nawarin buat mengantar kita
sampai tepat di kaki gunung, gak jauh dari tempat tambang pasir. Dengan segala
pertimbangan, salah satunya perkiraan kita bahwa perjalanan masih sangat jauh,
akhirnya kita putuskan menyewa mobil tadi sampai kaki gunung dengan biaya 100
ribu. Hmmm.... ini harga sudah melalui proses nego yg lumayan alot broh.. and
finally, melajulah itu mobil dengan menerjang medan yg gak gampang! Jalanan
berbatu yg sesekali nanjak dan gak jarang kita semua yyg di bak mobil
terpelanting kesana kemari. It’s really-really freaking truck! Seakan-akan
bocah kecil yang ngeyel, mobil pun terus melaju dengan pede nya. Bahkan saat
menanjak dan menikung, hampir seisi truk tumpah hahahah! Sempat melewati depan
area pertambangan pasir, tapi entah kenapa tuh mobil bak malah terus nerobos
jalanan kecil dengan hiasan semaks-semaks! Pppffhhh!!! Dan karena gak yakin
bisa nerobos jalanan yg makin menyempit, nyerah lah tuh supir. Kita semua
terpaksa diturunkan di sebuah jalanan sempit, bisa dibilang seperti jalanan
setapak, dan nggak banget buat dilewati mobil! Okey... this isn’t good start! Gue
pikir begitu. Dan kalo dipikir-pikir, jarak dari start kita naik mobil ini
sampe lokasi turun pun gak jauh. Jadi kalo tau gini mending tadi jalan kaki
ajaaa... yaa tuhaaaaannn! Sabar. Itu aja yang bisa menguakan gue saat itu, dan
mungkin temen-temen yg lain juga.
Di-drop di semak-semak. Sedihh!!! |
Setelah
itu, kita lanjutkan perjalanan, dan gue yakin ini sudah sampe di kaki gunung. Tapi
gue mulai curiga. Kemanapun gue jalan-jalan, selalu gue pake logika dan insting
masalah arah yang bakal gue tuju. Gunung Guntur, ada di sebelah barat posisi
rombongan kita pada saat itu. But, kenapa kita masih stay di sebelah timur dan
nggak jalan mengarah ke arah gunung? Dan ini pun berlangsung sampe sebuah
tanjakan yang bener-bener mulai pakai tenaga dan pikiran buat melewatinya. Pertanyaan
ini sempat gue lontarkan ke salah satu temen gue, tapi mereka bilang, ‘udah
ikutin aja lah’. Ikutin? Oh,, mungkin ada yang udah pernah ke sini, dan
mungkin ini adalah jalan pintas menuju Guntur. Terlebih saat salah satu dari
temen bilang jalur ini dipilih karena menghindari cuaca terik selama track
gunung Guntur pada umumnya. Memang, gunung Guntur adalah gunung yang terkenal
dengan padang savananya yg luas dan jarang pepohonan. Ini pun bisa dilihat saat
kita melintas di kawasan Tarogong, Garut. Dari kejauhan emang gunung ini tampak
gersang dan jarang pohon. Kebayang kan, kalo cuaca panas kayak apa rasanya. Ok,
alasan tadi gue rasa bisa diterima. Mungkin dengan lewat jalur yg udah dipilih
ini kita bakal terhindar dari bahaya ‘kulit gosong’ hehehe. Setengah jam, satu
jam perjalanan udah kita lewatin. Jalur pertama ini lumayan menantang. Tanjakan
dengan kontur tanah berpasir yg bikin jalan satu langkah ke depan, mundur lagi,
maju, mundur lagi. Menguras tenaga. Sampe sempat gue merasakan nyaris pingsan
dan terasa gelap. Ah, mungkin ini karena gue jarang olahraga. Kebetulan tim
kita ada 2 orang wanita, jadi emang perlu waktu yang gak secepat kiat buat
mendaki. But, so far, perjalanan masih kita nikmati.
Gak
terasa udah 2 jam perjalanan. Kita semua udah ada di hutan belantara meski gue
yakin ini belum seberapa tingginya. Hanya tanah, akar-akar yang bisa kita pakai
buat duduk melepas lelah. Tanah yang sedikit lembab, entah karena semalam abis
ujan atau emang karena banyaknya pepohonan yg menutupi area ini. Semua berhenti
di kemiringan lereng gunung sambil mengatur napas. Sesekali kami selfie
bareng-bareng/ groufie buat mengusir jenuh dan lelah. Jenuh? Jujur gue jenuh
saat itu, karena sejak awal mendaki tanjakan pertama udah curiga salah arah.
Tapi ya sudahlah, nikmati dulu. Dan perjalanan pun berlanjut setelah kami siap
kembali.
Sejenak menepis rasa lelah :) |
Satu
jam perjalanan dari tempat break tadi, sekitar pukul 13.00 atau jam 1 siang.
Tapi gak ada rasa siangnya sama sekali. Cuaca kayaknya mulai galau. Mendung
guys! Dalam hati gue udah pasrah, karena hujan saat di gunung sangat bikin gue
gak nyaman. Tapi saat itu masih rintik-rintik genit, dan makin gelap karena
mendung yang makin bergelayut. Suasana agak serem karena ditambah kolaborasi
kabut yg mulai menyergap perjalanan kami yg memasuki hutan yg lebat dengan
vegetasi yg sangat rapat. Suatu keputusan diambil saat itu yakni beberapa orang
dari kami harus menuruni lereng beberapa puluh meter ke bawah buat ambil air di
aliran sungai kecil untuk cadangan air nanti. Di Gunung Guntur sendiri hanya
ada 1 sumber mata air, jika kita jalan degan rute yg benar, akan ada curug
Citiis yang biasa dipakai para pendaki ambil air. Dan mungkin yang ada di bawah
tadi adalah aliran sungai yang mengarah ke curug. Sumpah saat itu gue bingung
dengan segala arah, ditambah itu perjalanan pertama gue menuju puncak Guntur.
Akhirnya, sekitar 10 orang berjuang mengambil air yang ada di sungai dengan memanfaatkan
beberapa drigen dan botol air mineral yang sudah kosong. Agar lebih cepat, tim ‘pencari
air’ ini berjajar dari bawah sampai atas, tempat kita menampung stock air.
Sesekali botol yang sudah diisi air yang dilempar ke atas pun jatuh dan
menggelinding lagi ke bawah karena gaya penangkapan yang salah hehehe.
Perjuangan banget broh! Sementara di ujung sana, para wanita dan beberapa dari
kita sedang ribut karena diganggu pacet-pacet yang siap menghisap tubuh mereka.
Banyak pacet di sini! Maka dari itu ke gunung dengan jalur hutan lebat seperti
ini lebih bagus pakai pakaian yang terutup untuk menghindari ‘kecupan’
binatang-binatang jahat seperti pacet. Apalagi ular! Hiiiii !!!!!
Percaya gak percaya, ini jam 1 siang! |
Kabut mulai menyerbu |
Para pejuang pencari air |
Setelah
perbekalan air dirasa cukup, kita pun melanjutkan perjalanan yang makin lama
makin terasa aneh dan tak kunjung nemu titik puncak, paling nggak bisa lihat
gunung guntur. Sebenernya kita sempat liat puncak 1 Guntur dari track yang udah
kita tempuh dari tadi. Cuma gak tau kenapa terasa lama dan seakan kita semua
jalan tanpa arah. Mendaki, menuruni track menurun yang licin dan terjal
sesekali kita lalui. Tak jarang pepohonan yang sudah tumbang menghalangi jalur.
Sampai gak berasa kalo waktu semakin sore dan semakin gelap mendekati waktu
maghrib. Ditambah cuaca yang benar-benar udah gak bersahabat alias hujan. Tiba-tiba
tim dari kita yang paling depan bergerak balik ke belakang sambil saling
memberitahu yang lain kalo pendakian dihentikan. Yah! Berhenti! Gue hanya bisa
memahami kata-kata itu dalam hati karena emang kondisi udah gak memungkinkan
buat lanjut. Buat apa? Hari maikin gelap dan gak ada tanda-tanda kalau kita
akan segera tiba di gunung Guntur. Karena sejak tadi yang kita daki adalah
gunung yang ada di sebelah utara Guntur. Ada teman yang bilang Gunung Masigit
(info ini gue dapet setelah pulang). Kalaupun perjalanan dilanjutkan pasti
bakal beresiko, ditambah anggota tim pasti sudah kelelahan menempuh perjalanan
yang ‘gak jelas’ dari pagi. Finally, seluruh anggota rombongan kita break dan
mendirikan tenda di sebuah area yang sedikit landai, meski gak begitu luas dan
terkesan ‘maksain’ banget.
Sekitar
jam 7 malam, beberapa tenda sudah berdiri menghiasi area camping dadakan ini.
Gelap, basah, becek, lelah. Semua jadi satu. Ternyata gak cuma rombongan kita
dari Tangerang aja yang ngecamp di situ, tapi sejak tadi rupanya ada anggota
lain yang juga ikut ‘nyasar’ bareng. Ada Kang Ayi with ayangnya, Neng Nurul
dari kota Garut, dan seorang bapak-bapak bersama 2 orang temennya (kalo gak
salah). Jadilah sekitar 20-an orang mendiami lokasi itu. Gue sendiri berada
satu tenda bareng 5 orang lainnya. Jadi dalam satu tenda yang idealnya muat 4
orang, terpaksa diisi 6 orang, 2 cewek, 4 cowok. Jujur sampai pada saat itu,
menjelang malam gue masih ngedumel dalam hati karena merasa ini bener-bener
pendakian paling aneh dan konyol yang pernah gue alamin. Dan saat itu pun
posisi gue belum sampai puncak dan masih berada di antah berantah. Yang gue tau
saat itu gue ada di hutan, di pegunungan sebelah gunung Guntur dengan segala
resiko entah itu diemut pacet, dicipok ular atah bahkan dimamam macan! Dalam
hati gue pasrah, sabar, gue ikuti aja dan coba enjoy bareng temen-temen. Mulai
siap-siap buat rebus air, bikin kopi, teh, dan masak, meski nasinya failed! Hahaha,
tapi tetep enak aja buat dimakan, maklum perut kemasukan nasi cuma pagi.
Sejenak kita berenam hahahihi dalam tenda sempit sambil menikmati cemilan yang
ada dan apa aja yang bisa dimakan. Begitu juga dengan tenda yang lain. Bahkan di
lokasi ini pun serangan pacet makin massive hehehehe. Tau-tau udah nempel aja
di kaki, lengan, hiiiiii...untung gue gak ngrasain yang begituan.
Masak apa yang bisa dimasak |
Dan makan apa yang bisa dimakan |
Gak terasa malam makin larut, gue yakin saat itu semua lelah. Hujan perlahan berhenti, meski sesekali masih mencoba meramaikan area camping kami. Di dalam tenda, kita berenam mulai atur posisi untuk tidur, mengingat tempat sangat sempit dan kita semua perlu istirahat dengan nyaman. Alhasil tanpa mikir babibu kita berenam tidur dempet-dempetan gak peduli pantat atau paha siapapun itu yang jadi bantal. Setelah rapi masuk ke dalam sleeping bag masing-masing, kita pun terlelap. Sedangkan gue, sesekali sulit memejamkan mata, sambil berkata dalam hati: Yaa Allah.. kok gini amat ya.. “
Entah
jam berapa saat itu, mata gue yang sebelumnya terutup rapi dalam tidur
tiba-tiba terbangun. Masih dengan posisi terbaring,cuma mata dan telinga yang mendadak
‘on’ pada tengah malam itu. Hening, sepi. Hanya suara tetesan air hujan di
antara dedaunan dan sesekali menetes ke tenda kami. Inilah gue, kebiasaan gue, yang
tidur gak pernah bisa nyenyak, apalagi
di tempat seperti ini. Gue menghela napas dan nyoba nutup mata biar bisa
tidur lagi. Tapi... suara langkah kaki lumayan bikin gue tercengang sejenak. Gue
yakin itu langkah kaki manusia. Langkah kaki bersepatu, dan kayaknya hanya satu
orang, berjalan di antara tenda-tenda kami. Berjalan dari arah atas, turun
menuju tenda-tenda dan menjauh, seakan-akan menuju jalanan awal yang kami lalui
seharian tadi. Seperti kembali turun. Tapi siapa malam-malam gelap seperti itu
berjalan tanpa penerangan dengan langkah yang begitu cepat. Padahal saat itu
sekita tenda kondisi tanah becek dan gak rata. Gak lama kemudian, terdengar
suara yang gue yakin banget itu suara salah satu anggota gue dari lain tenda.
Dia teriak,”Woy, siapa itu?!” Meski gak begitu kenceng, tapi gue denger jelas
banget teriakan itu. Gak ada jawaban apa-apa, dan di saat yang bersamaan suara
langkah kaki yang gue denger tadi lenyap entah kemana....
to be continued ...
Komentar
Posting Komentar