Menikmati Eksotisme Gunung Papandayan (2622 Mdpl)

Gue bukan pendaki, atau bahkan pendaki sejati hahaha. Naik gunung buat gue hanya selingan atau intermezzo mengisi waktu libur panjang yg jarang banget gue dapetin, terlebih gue juga ga punya jatah cuti di tempat kerja. Jadi kalo ada libur long weekend, gak ada salahnya kalo gue manfaatin buat sejenak bersusah-susah mendaki gunung dan gue rasa hal seperti ini gak bisa dipake buat nge-judge kalo gue adalah pendaki hehehe. Dan perjalanan gue kali ini adalah ‘kembali’ menikmati indahnya alam di gunung Papandayan, Garut.



Singkat kata dan singkat cerita pemirsa, gue dan temen-temen berangkat dari Jakarta jam 10 malam dan sesuai prediksi, karena jalanan di awal sempat macet, gue dan temen-temen  sampe di daerah Cisurupan, Garut, menjelang waktu Subuh. Mobil pun terparkir di halaman masjid Cisurupan. FYI guys, tempat ini emang sering banget dipake para pendaki Gunung Papandayan buat transit, di mana di samping masjid ini terdapat sebuah lapangan atau biasa disebut alun-alun Cisurupan. Pagi pun menjelang. Gelapnya langit subuh pun perlahan terang dan digantikan pemandangan sebuah kerucut besar di sebelah timur. Yap! Gunung Cikuray, the highest mountain in Garut, yang terkenal dengan view samudra di atas awan dari puncaknya itu.

View Mt. Cikuray dari pelataran masjid Cisurupan


Ok, guys, setelah kita semua prepare dan dirasa cukup istirahat setelah menempuh perjalanan panjang dari Jekardahh, saatnya kita let’s go menuju basecamp pendakian. Untuk mencapai tempat ini, perlu naik angkutan mobil bak terbuka, atau menyewa mobil Avanza yg sekarang udah mulai dipakai untuk mengantra kita menuju Camp David, basecamp Gunung Papandayan. Biaya sewa mobil ini rata-rata 20 ribu per orang Kita bisa pilih, mau naik Avanza atau bak terbuka yg pastinya punya sensasi yg berbeda! Dan saat itu gue dan temen-temen gabung dengan rombongan pendaki lain yg kebetulan dari Jakarta juga, dan udah mesan Avanza buat ngantar ke basecamp. Karena mereka juga masih nyari tambahan pasukan lain (maksimal 10 penumpang), kita pun gabung satu mobil. Satu yg gue inget dari anggota rombongan itu adalah Mbak Dewi namanya. Hai  mbak Dewi, apakabar? Hahaha.. Sekitar jam 7 pagi, mobil pun berjalan menuju Camp David Perlu waktu sekitar 45 menit dan jalan yg dilalui pun cukup mudah karena sudah beraspal, meski ada beberapa yg sedikit rusak. But so far so good lah, mending dari pada 2014 lalu saat pertama kali gue kesini, jalanan masih rusak parah dan baru mulai di aspal.
Sampailah kita di parkiran Camp David Ini adalah tempat di mana semua pendaki bersiap mendaki Papandayan. Saat masuk area ini, sesekali gue lihat kanan kiri seperti ada yg beda dari 2 tahun lalu. Ada beberapa titik area yg terlihat hangus dan rusak, dan gue yakin ini akibat kebakaran beberapa waktu lalu. Beberapa kios pun gak luput dari terjangan si jago merah, dan sekarang ada beberapa yg terlihat masih mangkrak begitu aja belum diperbaiki. Tapi itu gak mengurangi semangat perdagangan di sini terbukti penjual souvenir khas Papandayan pun masih eksis. Bahkan pedangan cilok pun gak pernah absen! Pokonya kalo loe ke Papandayan gak nyobain ciloknya, hmm.. gak afdol hehehe.

Avanza yang udah ready mengantar kita sampai Camp David
Atau pilih sewa mobil bak terbuka kaya gini biar lebih greget :D

Selamat datang di Camp David, start awal pendakian Mt. Papandayan


Pos 1 –Pos 2  (Camp David – Lawang Angin)

Jalur pendakian ke Gunung Papandayan terbilang cukup mudah dan hanya butuh waktu kurang lebih 3 jam perjalanan menuju lokasi camping, yaitu Pondok Saladah. Perjalanan akan dimulai dari basecamp Camp David yg udah gue jelasin di awal tadi. Lalu kita akan melewati track kawah sekitar 1 jam lebih. Jalur ini didominasi oleh bebatuan berwarna putih mengandung belerang karena memang kawah di kawasan ini masih aktif. Semakin mendekati sumber kawah, bau belerang pun makin menyengat. Jadi gue saranin kalo lewat sini usahakan pake buff atau pelindung lainnya agar tidak terganggu dengan aroma belerang yang kadang merasuk hingga ke tenggorokan (eaaaa...). kalo cuaca cerah, jalur ini lumayan bikin kulit gosong karena teriknya matahari. Makin jauh melintas di jalur kawah ini, jalanan akan terasa menanjak dan lumayan buat pemanasan. Kalo loe lewat jalur ini di siang hari menjelang sore, loe bakal banyak nemuin wisatawan-wisatawan ‘non-pendaki’ yang hanya main-main ke sekitaran kawah aja. Jadi jangan heran kalo pas kita capek-capek gendong carrier ketemu sama rombongan emak-emak setrong ‘ngetrip’ ke kawah Papandayan. Hehehe..!

Track awal




Newlywed coy! Hahaha, couple of the year lahhh...

Kawah-kawah yang masih aktif di Papandayan, beberapa di antaranya bernama Kawah Mas, Kawah Baru, dan Kawah Nangklak (sumber: wikipedia)










Gue, Bro Ilham, & Kang Japrot



Selesai melewati jalur kawah, kita bakal melewati sebuah punggungan di mana dari situ kita bisa lihat keseluruhan jalur kawah yg udah kita lewati. Di sini juga ada beberapa warung kecil yang menjajakan minuman, gorengan, bahkan semangka. Hahaha, lumayan kan, bisa buat seger-segeran saat perjalanan. Dari sini, kita akan melanjutkan perjalanan menuju pos 2 yang sebenarnya udah kelihatan arah dan jalurnya, tapi lumayan masih jauh guys. Di sini kita akan menerapkan lagu soundtrack Ninja Hatori,”mendaki gunung, turuni lembah...” (dan gue lupa lanjutannya). Kita akan melanjutkan perjalanan yang bisa dibilang cukup lebar untuk pendakian. Tapi karena ujung jalan ini buntu, maka kita harus berbelok menuruni jalan kecil, turun terus sampai melewati sebuah aliran sungai kecil yang penuh bebatuan. Kalo lagi musim hujan, lumayan deras alirannya. Jadi siap-siap loncat di antara bebatuan kalo gak mau sepatu basah. Setelah itu, kita bakal dihadapkan dengan jalanan nanjak dan setapak. Mulai dari sini tenaga ekstra dibutuhkan karena mostly tanjakan siap menyambut, dan sesekali harus mengalah sejenak saat berpapasan dengan motor-motor trail. Hah? motor di gunung? Yap! Saking mudahnya jalur pendakian di Papandayan ini, motor trail pun bisa menembus terjalnya bebatuan dan tanjakan-tanjakan yg bisa dibilang ekstrim buat kendaraan bermotor. Biasanya mereka adalah orang-orang yg naik turun membawa barang dagangan yg biasa di jual di area pendakian Gunung Papandayan. Liat perjuangan mereka bawa barang dagangan naik turun gunung gak heran kalo harga barang dagangan yang mereka jual bisa dua kali lipat lebih mahal dari harga biasanya.

Menuruni lembah, menuju lintasan sungai kecil

Ini sungainya

Percaya gak, track kaya gini bisa ditembus motor-motor trail Papandayan!





Selesai melalui tanjakan-tanjakan yang lumayan menguras tenaga, jalur setapak akan terhubung dengan jalur lebar dan landai. Di sini kita bisa lihat view di bawah sana yangmenyejukkan mata. Kepulan asap dari kawah Papandayan, ditambah hijaunya hamparan lembah di bawah sana, jalur setapak yang udah kita lewatin tadi dan pegunungan-pegunungan yang juga turut menyemarakkan keindahan alam Papandayan. Gak salah kalo Garut dijulukin Swiss Van Java :D . 



Terlihat di bawah sana track yang kita lewati sebelumnya (2016)

By the way ini foto saat gue ke Papandayan tahun 2014

Jika kita lanjutkan perjalanan, tak lama kemudian akan tiba lah kita di Pos 2 yang biasa di sebut pos Lawang Angin Ada dua tebing di kanan dan kiri jalan yang seakan-akan pintu buat kita untuk masuk lebih jauh lagi menuju area camp Papandayan. Di pos ini kita diwajibkan melapor dan mengisi buku tamu jika kita ingin melanjutkan perjalanan hingga camp Pondok Saladah. Disini juga terlihat beberapa tenda yang berdiri menghiasi keramaian pos Lawang Angin. Kenapa ramai? Karena di sini juga ada warung-warung kecil yang siap dengan dagangannya. Dan satu lagi, cilok men! Cilok pun never stop to explore Papandayan!

Menuju pos Lawang Angin

Apakah kalian melihat tukang cilok? Di mana? Aku tidak melihatnya *kemudian ditabok Dora*

Lanjut yuk, ke Pondok Saladah! Let's go!


Pos 2 (Lawang Angin) – Camp Pondok Saladah

Gak perlu waktu lama buat sampai di area camping Pondok Saladah. Dari pos 2 Lawang Angin, hanya perlu waktu sekitar 15 menit buat sampai di Pondok Saladah. Setelah melewati rimbunnya hutan yg didominasi pohon cantigi, kita bakal sampai di sebuah tanah lapang yang luas buat mendirikan tenda. 

15 minutes to Pondok Saladah camp ground. Go Ahead!





Let's camp!


Kalo lagi long weekend, ratusan tenda memadati area camping ini pemirsa! Saking gak kebagian tempat di lapangan, gak sedikit para pendaki yang memilih mendirikan tenda di bawah rimbunnya pohon cantigi khas Papandayan itu. Kawasan Pondok Saladah ini memang menjadi pilihan para penikmat Gunung Papandayan buat mendirikan tenda, karena memang lebih dekat dengan sumber air, dan lokasi yang nyaman. Untuk di padang edelweis, Tegal Alun tidak diperbolehkan untuk dipakai nge-camp karena dikhawatirkan akan merusak ekosistem tanaman edelweis. Tapi don’t worry guys, di Pondok Saladah pun tumbuh beberapa tanaman edelweis. Meski gak sebanyak di Tegal Alun, at least udah bisa menambah suasana yang indah di sekitar tenda tempat kita ngecamp.



Prepare mendirikan tenda







Hujan khas Papandayan



A man after storm :D


Tahun 2014 lalu saat gue pertama kali ke Papandayan, di area Pondok Saladah ini baru ada satu lokasi toilet. Tapi sekarang jumlah toilet  di sini udah bertambah dan lebih nyaman dipakai. Buat loe yang camping ke Papandayan, jangan takut kehabisan stock air bersih, karena di sini sumber air bersih sudah dekat hahahaha! Bahkan warung-warung di kawasan Pondok Saladah makin eksis vrohhh! Bisa dibilang agak sedikit mengurangi feel “Flirting with Nature” sih, tapi it’s OK lah, mereka juga nyari nafkah dengan cara yang halal. 


Dari Pondok Saladah ini kita bisa lihat kawasan hutan mati yang didominasi oleh kayu-kayu pepohonan yang menghitam karena imbas erupsi Gunung Papandayan tahun 2002 silam. Selain itu dari sini juga kelihatan jalur pendakian menuju Tegal Alun melalui jalur batu yang cukup ekstrim. Ada dua jalur buat menuju Tegal Alun, bisa lewat hutan mati kemudian lewat tanjakan Mamang, atau lewat jalur tanjakan batu, lanjut Tegal Alun lalu turun lewat tanjakan Mamang dan hutan mati.

Anyway, ini beberapa foto-foto keceriaan di camp Pondok Saladah :


Sunrise rasa Pondok Saladah



Coba jangan fokus ke saya, tapi ke jalur tanjakan batu yang merupakan salah satu jalur menuju Tegal Alun




Togetherness


Pondok Saladah – Hutan Mati – Tegal Alun (Padang Edelweis)

Rencana awal pengen naik ke Tegal Alun lewat tanjakan batu, mengingat dulu udah pernah lewat hutan mati. Tapi mungkin karena kepedean, saat mau menuju jalur tanjakan batu malah nyasar. Alhasil balik lagi ke titik awal (masih di sekitar Pondok Saladah), trus menuju Tegal Alun via hutan mati bareng pendaki yang lain hehehehe.. Sekitar setengah jam perjalanan (bisa lebih cepat), sampai lah di kawasan hutan mati dengan pepohonan kering tak berdaun yang khas itu. Beberapa pohon berwarna hitam akibat erupsi. Dengan permukaan tanah bebatuan berwarna putih, dengan pepohonan kering menambah kesan eksotis dari kawasan hutan mati ini. Pokoknya instagramable banget deh! Ditambah kalo kita bisa nikmatin sunrise saat cuaca cerah di pagi hari. Tapi hati-hati juga saat mengeksplor kawasan ini, karena di beberapa bagian ada ‘sungai-sungai’ kecil menyerupai parit yang terbentuk karena aliran air saat hujan dan mengikis permukaan tanah. Nah, dari hutan mati ini kita juga bisa lihat lokasi camp kita di Pondok Saladah juga lho. Dan satu lagi, kalo cuaca cerah kita juga lihat puncak gunung Ciremai dari lokasi hutan mati ini. Hohohoho.. kangen Ciremai.. L *gegoleran di tanah*

Puncak Ciremai terlihat dari Papandayan






Erosi




EKSOTISSSSS ABISSS !









Travelmate :)



View Pondok Saladah dari kawasan hutan mati




Setelah puas menjelajah di kawasan hutan mati, gue dan temen-temen lanjutin perjalanan menuju Tegal Alun, yang bisa dibilang juga tujuan akhir atau puncak. Memang di Papandayan ini gak jelas mana puncak gunungnya Ada yang bilang mana yang kelihatan paling tinggi ya itu puncaknya. Ini akibat letusan gunung Papandayan sendiri yang menyebabkan ‘hilangnya’ bagian puncak gunung. Makanya gunung yang dulunya punya tinggi 2665 mdpl ini sekarang hanya tinggal 2622 mdpl.

Lanjut ke Tegal Alun! Buat sampai di lokasi ini emang butuh tenaga ekstra lagi guys. Selepas hutan mati, kita bakal masuk ke rimbunnya hutan dan bersiap melewati tanjakan Mamang yang cukup terjal dan didominasi akar-akar dan tanah. Hati-hati permukaan tanah yang licin, terutama saat atau setelah hujan turun. Tanaman cantigi pun masih terlihat menghiasi jalur ini. Setelah finish melalui tantangan di tanjakan Mamang, seketika jalur menjadi landai dan rata. Ini tandanya tinggal hitungan detik saja kita bakal sampai di Tegal Alun. Setelah berjalan di antara rimbunnya pepohonan, mata kita akan disambut dengan cerahnya suasana padang edelweis di Tegal Alun.

Tanjakan Mamang



Suasana di Tegal Alun terasa begitu tenang dan damai (kecuali kalo ada yang teriak-teriak ribut selfie). Sejauh mata memandang terpapar hamparan tanaman edelweis yang biasa merekah di bulan Agustus. Kalo lagi musim penghujan, kawasan ini lebih sering tersapu kabut, sama seperti saat gue pertama kali kesini. Tapi untuk kedua kalinya, gue bisa lihat suasana cerah di Tegal Alun. Tempat ini dikelilingi pegunungan yang seakan menjadi pelindung. Tapi sayang, saat kemarau kemarin, lokasi ini ikut jadi korban keganasan si jago merah. Alhasil, di beberapa titik pegunungan terlihat gersang, gosong bekas terbakar. Lokasi ini sebenarnya gak jauh beda dengan dataran di Pondok Saladah, namun bedanya ekosistem tanaman edelweis lebih luas dan lebih mempesona. 

Ketemu rombongan mbak Dewi dkk di Tegal Alun (btw mbak Dewi yang idungnya diplester wkwkwkk..)












Larangan camping di area ini pun menjadikan Tegal Alun tetap terjaga keasriannya, meski kadang masih aja ditemukan sampah-sampah mereka yang tercipta hanya untuk nyampah. Pffffthhh!! Jangan ditiru ya!

Makan aja sampahmu kalau gak bisa bawa turun!

Dan kalo kalian lagi di sini, jangan hanya menghabiskan waktu buat foto-foto aja, tapi cobalah diam dan menikmati kedamaian Tegal Alun, apalagi saat ngrasain hembusan angin sepoi-sepoi. Bener-bener bikin gak mau pulang.

Ini baru #FlirtingWithNature hehehehe..

Itulah cerita gue saat ‘kembali’ ke Papandayan. Meski bolak balik diguyur hujan dan banyak menghabiskan waktu di dalam tenda, tapi justru bisa jadi cerita tersendiri yang pastinya unforgettable. Saran dari gue buat kalian yang pengen ke Papandayan, pakai sepatu yang nyaman buat hiking, bawa pakaian/jaket tebal, raincoat, sleeping bag, dan perbekalan secukupnya. Adanya beberapa warung yang jualan di Papandayan lumayan mempermudah kita dalam hal kebutuhan logistik, terutama air minum atau cemilan. Meski jalur pendakian ke gunung Papandayan bisa dibilang gak terlalu sulit, tapi tetap butuh stamina yang fit ya guys, so jangan lupa juga bawa perlengkapan P3K (Pertolongan Pada Pria Kesepian) halahhh!!! Dan.. satu lagi, jangan lupa bawa turun sampah mu ya! Selamat ber-camping ceria di Papandayan... !


Akomodasi:

* Bis dari terminal Kampung Rambutan – Terminal Guntur, Garut = Rp 52.000,-
* Angkutan dari terminal Guntur – Cisurupan = Rp 20.000,-
* Sewa mobil losbak/Avanza dari Cisurupan – Base camp = Rp 20.000,-

* Tiket masuk Papandayan = Rp 10.000,-

Komentar

POPULAR POST