Gue
bukan pendaki, atau bahkan pendaki sejati hahaha. Naik gunung buat gue hanya
selingan atau intermezzo mengisi waktu libur panjang yg jarang banget gue
dapetin, terlebih gue juga ga punya jatah cuti di tempat kerja. Jadi kalo ada
libur long weekend, gak ada salahnya kalo gue manfaatin buat sejenak
bersusah-susah mendaki gunung dan gue rasa hal seperti ini gak bisa dipake buat
nge-judge kalo gue adalah pendaki hehehe. Dan perjalanan gue kali ini adalah ‘kembali’
menikmati indahnya alam di gunung Papandayan, Garut.
Singkat
kata dan singkat cerita pemirsa, gue dan temen-temen berangkat dari Jakarta jam
10 malam dan sesuai prediksi, karena jalanan di awal sempat macet, gue dan
temen-temen sampe di daerah Cisurupan,
Garut, menjelang waktu Subuh. Mobil pun terparkir di halaman masjid Cisurupan.
FYI guys, tempat ini emang sering banget dipake para pendaki Gunung Papandayan
buat transit, di mana di samping masjid ini terdapat sebuah lapangan atau biasa
disebut alun-alun Cisurupan. Pagi pun menjelang. Gelapnya langit subuh pun
perlahan terang dan digantikan pemandangan sebuah kerucut besar di sebelah
timur. Yap! Gunung Cikuray, the highest mountain in Garut, yang terkenal dengan
view samudra di atas awan dari puncaknya itu.
|
View Mt. Cikuray dari pelataran masjid Cisurupan |
Ok,
guys, setelah kita semua prepare dan dirasa cukup istirahat setelah menempuh
perjalanan panjang dari Jekardahh, saatnya kita let’s go menuju basecamp pendakian.
Untuk mencapai tempat ini, perlu naik angkutan mobil bak terbuka, atau menyewa
mobil Avanza yg sekarang udah mulai dipakai untuk mengantra kita menuju Camp
David, basecamp Gunung Papandayan. Biaya sewa mobil ini rata-rata 20 ribu per
orang Kita bisa pilih, mau naik Avanza atau bak terbuka yg pastinya punya
sensasi yg berbeda! Dan saat itu gue dan temen-temen gabung dengan rombongan
pendaki lain yg kebetulan dari Jakarta juga, dan udah mesan Avanza buat ngantar
ke basecamp. Karena mereka juga masih nyari tambahan pasukan lain (maksimal 10
penumpang), kita pun gabung satu mobil. Satu yg gue inget dari anggota
rombongan itu adalah Mbak Dewi namanya. Hai
mbak Dewi, apakabar? Hahaha.. Sekitar jam 7 pagi, mobil pun berjalan
menuju Camp David Perlu waktu sekitar 45 menit dan jalan yg dilalui pun cukup
mudah karena sudah beraspal, meski ada beberapa yg sedikit rusak. But so far so
good lah, mending dari pada 2014 lalu saat pertama kali gue kesini, jalanan
masih rusak parah dan baru mulai di aspal.
Sampailah
kita di parkiran Camp David Ini adalah tempat di mana semua pendaki bersiap
mendaki Papandayan. Saat masuk area ini, sesekali gue lihat kanan kiri seperti
ada yg beda dari 2 tahun lalu. Ada beberapa titik area yg terlihat hangus dan
rusak, dan gue yakin ini akibat kebakaran beberapa waktu lalu. Beberapa kios
pun gak luput dari terjangan si jago merah, dan sekarang ada beberapa yg terlihat
masih mangkrak begitu aja belum diperbaiki. Tapi itu gak mengurangi semangat
perdagangan di sini terbukti penjual souvenir khas Papandayan pun masih eksis.
Bahkan pedangan cilok pun gak pernah absen! Pokonya kalo loe ke Papandayan gak
nyobain ciloknya, hmm.. gak afdol hehehe.
|
Avanza yang udah ready mengantar kita sampai Camp David |
|
Atau pilih sewa mobil bak terbuka kaya gini biar lebih greget :D |
|
Selamat datang di Camp David, start awal pendakian Mt. Papandayan |
Pos
1 –Pos 2 (Camp David – Lawang Angin)
Jalur
pendakian ke Gunung Papandayan terbilang cukup mudah dan hanya butuh waktu
kurang lebih 3 jam perjalanan menuju lokasi camping, yaitu Pondok Saladah.
Perjalanan akan dimulai dari basecamp Camp David yg udah gue jelasin di awal
tadi. Lalu kita akan melewati track kawah sekitar 1 jam lebih. Jalur ini
didominasi oleh bebatuan berwarna putih mengandung belerang karena memang kawah
di kawasan ini masih aktif. Semakin mendekati sumber kawah, bau belerang pun
makin menyengat. Jadi gue saranin kalo lewat sini usahakan pake buff atau
pelindung lainnya agar tidak terganggu dengan aroma belerang yang kadang
merasuk hingga ke tenggorokan (eaaaa...). kalo cuaca cerah, jalur ini lumayan
bikin kulit gosong karena teriknya matahari. Makin jauh melintas di jalur kawah
ini, jalanan akan terasa menanjak dan lumayan buat pemanasan. Kalo loe lewat
jalur ini di siang hari menjelang sore, loe bakal banyak nemuin
wisatawan-wisatawan ‘non-pendaki’ yang hanya main-main ke sekitaran kawah aja.
Jadi jangan heran kalo pas kita capek-capek gendong carrier ketemu sama
rombongan emak-emak setrong ‘ngetrip’ ke kawah Papandayan. Hehehe..!
|
Track awal |
|
Newlywed coy! Hahaha, couple of the year lahhh... |
|
Kawah-kawah yang masih aktif di Papandayan, beberapa di antaranya bernama Kawah Mas, Kawah Baru, dan Kawah Nangklak (sumber: wikipedia) |
|
Gue, Bro Ilham, & Kang Japrot |
Selesai
melewati jalur kawah, kita bakal melewati sebuah punggungan di mana dari situ
kita bisa lihat keseluruhan jalur kawah yg udah kita lewati. Di sini juga ada
beberapa warung kecil yang menjajakan minuman, gorengan, bahkan semangka.
Hahaha, lumayan kan, bisa buat seger-segeran saat perjalanan. Dari sini, kita
akan melanjutkan perjalanan menuju pos 2 yang sebenarnya udah kelihatan arah
dan jalurnya, tapi lumayan masih jauh guys. Di sini kita akan menerapkan lagu
soundtrack Ninja Hatori,”mendaki gunung, turuni lembah...” (dan gue lupa
lanjutannya). Kita akan melanjutkan perjalanan yang bisa dibilang cukup lebar
untuk pendakian. Tapi karena ujung jalan ini buntu, maka kita harus berbelok
menuruni jalan kecil, turun terus sampai melewati sebuah aliran sungai kecil
yang penuh bebatuan. Kalo lagi musim hujan, lumayan deras alirannya. Jadi siap-siap
loncat di antara bebatuan kalo gak mau sepatu basah. Setelah itu, kita bakal
dihadapkan dengan jalanan nanjak dan setapak. Mulai dari sini tenaga ekstra
dibutuhkan karena mostly tanjakan siap menyambut, dan sesekali harus mengalah
sejenak saat berpapasan dengan motor-motor trail. Hah? motor di gunung? Yap!
Saking mudahnya jalur pendakian di Papandayan ini, motor trail pun bisa
menembus terjalnya bebatuan dan tanjakan-tanjakan yg bisa dibilang ekstrim buat
kendaraan bermotor. Biasanya mereka adalah orang-orang yg naik turun membawa
barang dagangan yg biasa di jual di area pendakian Gunung Papandayan. Liat
perjuangan mereka bawa barang dagangan naik turun gunung gak heran kalo harga
barang dagangan yang mereka jual bisa dua kali lipat lebih mahal dari harga
biasanya.
|
Menuruni lembah, menuju lintasan sungai kecil |
|
Ini sungainya |
|
Percaya gak, track kaya gini bisa ditembus motor-motor trail Papandayan! |
Selesai
melalui tanjakan-tanjakan yang lumayan menguras tenaga, jalur setapak akan
terhubung dengan jalur lebar dan landai. Di sini kita bisa lihat view di bawah
sana yangmenyejukkan mata. Kepulan asap dari kawah Papandayan, ditambah hijaunya
hamparan lembah di bawah sana, jalur setapak yang udah kita lewatin tadi dan
pegunungan-pegunungan yang juga turut menyemarakkan keindahan alam Papandayan.
Gak salah kalo Garut dijulukin Swiss Van Java :D .
|
Terlihat di bawah sana track yang kita lewati sebelumnya (2016) |
|
By the way ini foto saat gue ke Papandayan tahun 2014 |
Jika kita lanjutkan
perjalanan, tak lama kemudian akan tiba lah kita di Pos 2 yang biasa di sebut
pos Lawang Angin Ada dua tebing di kanan dan kiri jalan yang seakan-akan pintu
buat kita untuk masuk lebih jauh lagi menuju area camp Papandayan. Di pos ini
kita diwajibkan melapor dan mengisi buku tamu jika kita ingin melanjutkan
perjalanan hingga camp Pondok Saladah. Disini juga terlihat beberapa tenda yang
berdiri menghiasi keramaian pos Lawang Angin. Kenapa ramai? Karena di sini juga
ada warung-warung kecil yang siap dengan dagangannya. Dan satu lagi, cilok men!
Cilok pun never stop to explore Papandayan!
|
Menuju pos Lawang Angin |
|
Apakah kalian melihat tukang cilok? Di mana? Aku tidak melihatnya *kemudian ditabok Dora* |
|
Lanjut yuk, ke Pondok Saladah! Let's go! |
Pos 2 (Lawang Angin) – Camp Pondok Saladah
Gak
perlu waktu lama buat sampai di area camping Pondok Saladah. Dari pos 2 Lawang
Angin, hanya perlu waktu sekitar 15 menit buat sampai di Pondok Saladah.
Setelah melewati rimbunnya hutan yg didominasi pohon cantigi, kita bakal sampai
di sebuah tanah lapang yang luas buat mendirikan tenda.
|
15 minutes to Pondok Saladah camp ground. Go Ahead! |
|
Let's camp! |
Kalo lagi long weekend,
ratusan tenda memadati area camping ini pemirsa! Saking gak kebagian tempat di
lapangan, gak sedikit para pendaki yang memilih mendirikan tenda di bawah
rimbunnya pohon cantigi khas Papandayan itu. Kawasan Pondok Saladah ini memang
menjadi pilihan para penikmat Gunung Papandayan buat mendirikan tenda, karena
memang lebih dekat dengan sumber air, dan lokasi yang nyaman. Untuk di padang
edelweis, Tegal Alun tidak diperbolehkan untuk dipakai nge-camp karena dikhawatirkan akan merusak ekosistem tanaman
edelweis. Tapi don’t worry guys, di Pondok Saladah pun tumbuh beberapa tanaman
edelweis. Meski gak sebanyak di Tegal Alun, at least udah bisa menambah suasana
yang indah di sekitar tenda tempat kita ngecamp.
|
Prepare mendirikan tenda |
|
Hujan khas Papandayan |
|
A man after storm :D |
Tahun
2014 lalu saat gue pertama kali ke Papandayan, di area Pondok Saladah ini baru
ada satu lokasi toilet. Tapi sekarang jumlah toilet di sini udah bertambah dan lebih nyaman
dipakai. Buat loe yang camping ke Papandayan, jangan takut kehabisan stock air
bersih, karena di sini sumber air bersih sudah dekat hahahaha! Bahkan
warung-warung di kawasan Pondok Saladah makin eksis vrohhh! Bisa dibilang agak sedikit
mengurangi feel “Flirting with Nature” sih, tapi it’s OK lah, mereka juga nyari
nafkah dengan cara yang halal.
Dari Pondok Saladah ini kita bisa lihat kawasan
hutan mati yang didominasi oleh kayu-kayu pepohonan yang menghitam karena imbas
erupsi Gunung Papandayan tahun 2002 silam. Selain itu dari sini juga kelihatan
jalur pendakian menuju Tegal Alun melalui jalur batu yang cukup ekstrim. Ada
dua jalur buat menuju Tegal Alun, bisa lewat hutan mati kemudian lewat tanjakan
Mamang, atau lewat jalur tanjakan batu, lanjut Tegal Alun lalu turun lewat
tanjakan Mamang dan hutan mati.
Anyway, ini beberapa foto-foto keceriaan di camp Pondok Saladah :
|
Sunrise rasa Pondok Saladah |
|
Coba jangan fokus ke saya, tapi ke jalur tanjakan batu yang merupakan salah satu jalur menuju Tegal Alun |
|
Togetherness |
Pondok Saladah – Hutan Mati – Tegal Alun
(Padang Edelweis)
Rencana
awal pengen naik ke Tegal Alun lewat tanjakan batu, mengingat dulu udah pernah
lewat hutan mati. Tapi mungkin karena kepedean, saat mau menuju jalur tanjakan
batu malah nyasar. Alhasil balik lagi ke titik awal (masih di sekitar Pondok
Saladah), trus menuju Tegal Alun via hutan mati bareng pendaki yang lain
hehehehe.. Sekitar setengah jam perjalanan (bisa lebih cepat), sampai lah di
kawasan hutan mati dengan pepohonan kering tak berdaun yang khas itu. Beberapa
pohon berwarna hitam akibat erupsi. Dengan permukaan tanah bebatuan berwarna
putih, dengan pepohonan kering menambah kesan eksotis dari kawasan hutan mati
ini. Pokoknya instagramable banget deh! Ditambah kalo kita bisa nikmatin
sunrise saat cuaca cerah di pagi hari. Tapi hati-hati juga saat mengeksplor
kawasan ini, karena di beberapa bagian ada ‘sungai-sungai’ kecil menyerupai
parit yang terbentuk karena aliran air saat hujan dan mengikis permukaan tanah.
Nah, dari hutan mati ini kita juga bisa lihat lokasi camp kita di Pondok
Saladah juga lho. Dan
satu lagi, kalo cuaca cerah kita juga lihat puncak gunung Ciremai dari lokasi
hutan mati ini. Hohohoho.. kangen Ciremai.. L *gegoleran di tanah*
|
Puncak Ciremai terlihat dari Papandayan |
|
Erosi |
|
EKSOTISSSSS ABISSS ! |
|
Travelmate :) |
|
View Pondok Saladah dari kawasan hutan mati |
Setelah
puas menjelajah di kawasan hutan mati, gue dan temen-temen lanjutin perjalanan
menuju Tegal Alun, yang bisa dibilang juga tujuan akhir atau puncak. Memang di
Papandayan ini gak jelas mana puncak gunungnya Ada yang bilang mana yang
kelihatan paling tinggi ya itu puncaknya. Ini akibat letusan gunung Papandayan
sendiri yang menyebabkan ‘hilangnya’ bagian puncak gunung. Makanya gunung yang
dulunya punya tinggi 2665 mdpl ini sekarang hanya tinggal 2622 mdpl.
Lanjut
ke Tegal Alun! Buat sampai di lokasi ini emang butuh tenaga ekstra lagi guys.
Selepas hutan mati, kita bakal masuk ke rimbunnya hutan dan bersiap melewati
tanjakan Mamang yang cukup terjal dan didominasi akar-akar dan tanah. Hati-hati
permukaan tanah yang licin, terutama saat atau setelah hujan turun. Tanaman
cantigi pun masih terlihat menghiasi jalur ini. Setelah finish melalui
tantangan di tanjakan Mamang, seketika jalur menjadi landai dan rata. Ini
tandanya tinggal hitungan detik saja kita bakal sampai di Tegal Alun. Setelah
berjalan di antara rimbunnya pepohonan, mata kita akan disambut dengan cerahnya
suasana padang edelweis di Tegal Alun.
|
Tanjakan Mamang |
Suasana
di Tegal Alun terasa begitu tenang dan damai (kecuali kalo ada yang
teriak-teriak ribut selfie). Sejauh mata memandang terpapar hamparan tanaman
edelweis yang biasa merekah di bulan Agustus. Kalo lagi musim penghujan,
kawasan ini lebih sering tersapu kabut, sama seperti saat gue pertama kali
kesini. Tapi untuk kedua kalinya, gue bisa lihat suasana cerah di Tegal Alun. Tempat
ini dikelilingi pegunungan yang seakan menjadi pelindung. Tapi sayang, saat
kemarau kemarin, lokasi ini ikut jadi korban keganasan si jago merah. Alhasil,
di beberapa titik pegunungan terlihat gersang, gosong bekas terbakar. Lokasi
ini sebenarnya gak jauh beda dengan dataran di Pondok Saladah, namun bedanya
ekosistem tanaman edelweis lebih luas dan lebih mempesona.
|
Ketemu rombongan mbak Dewi dkk di Tegal Alun (btw mbak Dewi yang idungnya diplester wkwkwkk..) |
Larangan camping di area ini pun menjadikan Tegal Alun tetap terjaga keasriannya, meski kadang masih aja ditemukan sampah-sampah mereka yang tercipta hanya untuk nyampah. Pffffthhh!! Jangan ditiru ya!
|
Makan aja sampahmu kalau gak bisa bawa turun! |
Dan kalo kalian lagi di sini, jangan hanya menghabiskan waktu buat foto-foto aja, tapi cobalah diam dan menikmati kedamaian Tegal Alun, apalagi saat ngrasain hembusan angin sepoi-sepoi. Bener-bener bikin gak mau pulang.
|
Ini baru #FlirtingWithNature hehehehe.. |
Itulah
cerita gue saat ‘kembali’ ke Papandayan. Meski bolak balik diguyur hujan dan
banyak menghabiskan waktu di dalam tenda, tapi justru bisa jadi cerita
tersendiri yang pastinya unforgettable.
Saran dari gue buat kalian yang pengen ke Papandayan, pakai sepatu yang nyaman
buat hiking, bawa pakaian/jaket tebal, raincoat, sleeping bag, dan perbekalan
secukupnya. Adanya beberapa warung yang jualan di Papandayan lumayan mempermudah
kita dalam hal kebutuhan logistik, terutama air minum atau cemilan. Meski jalur
pendakian ke gunung Papandayan bisa dibilang gak terlalu sulit, tapi tetap
butuh stamina yang fit ya guys, so jangan lupa juga bawa perlengkapan P3K
(Pertolongan Pada Pria Kesepian) halahhh!!! Dan.. satu lagi, jangan lupa bawa
turun sampah mu ya! Selamat ber-camping ceria di Papandayan... !
Akomodasi:
* Bis
dari terminal Kampung Rambutan – Terminal Guntur, Garut = Rp 52.000,-
* Angkutan
dari terminal Guntur – Cisurupan = Rp 20.000,-
*
Sewa mobil losbak/Avanza dari Cisurupan – Base camp = Rp 20.000,-
*
Tiket masuk Papandayan = Rp 10.000,-
Komentar
Posting Komentar