Explore Dieng Plateau - Day 1
Setelah
menanti waktu yang tepat, akhirnya gue bisa merealisasikan planning gue buat
jalan-jalan ke Dieng, Jawa Tengah. Siapa sih yang gak tau Dieng? Sebuah dataran
tinggi yang tepat berada di tengah Pulau Jawa, tepatnya di Kabupaten Wonosobo
dan Banjarnegara. Secara administratif, dataran tinggi Dieng berada di dua
wilayah, yakni Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, dan
Desa Dieng Wetan, Kecamatan Kejajar yang masih masuk wilayah Kabupaten
Wonosobo. Unik memang, kalo kita ke Dieng pasti kita lihat batas dua kabupaten
di daerah ini. Berjarak sekitar 30 km dari pusat kota Wonosobo, dan berada di
ketinggian 2000 mdpl, membuat udara di Dieng ini menjadi khas dan cuma bisa
dideskripsikan dalam satu kata: DINGIN.
Tugu Dieng, penyambut para 'tamu' di Dieng |
Nama
“Dieng” berasal dari gabungan dua kata yakni ‘di’
yang berarti tempat, dan ‘hyang’ yang
artinya dewa. That’s why Dieng disebut tempat bersemayam atau bermukimnya para
dewa dan dewi. Berada di ketinggian yang 2000 mdl, membuat suhu di Dieng
berkisar antara 12-30°C pada siang hari, dan 6-10° C pada malam hari. Tapi pada
saat puncak musim kemarau antara Juli-Agustus suhu udara bisa sampai 0°C bahkan
minus! Jadi gak heran saat pagi hari kadang kita bisa menemukan embun-embun
beku yang menempel pada tanaman. Masyarakat setempat menyebutnya bun upas. Bahasa kerennya mah, salju
hehehehe. Dan satu lagi, mungkin kita sering dengar istilah ‘Dieng plateau’.
Buat yang belum tau, just FYI aja guys, plateau itu artinya dataran tinggi ya
hehehe..
Suatu sore di alam Dieng |
Night's coming! |
Uniknya
alam di Dieng kadang membuat kita bertanya-tanya, kok ada ya, tempat sebagus
ini? Dulunya gimana? Nah, Dieng plateau ini dulunya, berdasarkan sejarah
merupakan hasil dari ledakan raksasa sebuah gunung purba dan membentuk kaldera
dengan beberapa gunung-gunung kecil di sekitarnya. Semua proses vulkanik yang
terjadi juga menimbulkan beberapa kawah yang sampai sekarang masih aktif, dan
yang lainnya menjadi danau mati yang justru menjadi spot wisata yang menawan.
Gak heran , beberapa danau dan kawah menjadi salah satu destinasi utama wisata
di Dieng. Tanah yang subur membuat masyarakat Dieng menjadikan perkebunan
sayuran menjadi ladang mereka mencari nafkah. Dieng merupakan daerah penghasil
kentang terbesar di Indonesia, guys! Selain itu ada kubis, wortel, bawang, terong Belanda dan
masih banyak jenis sayuran lainnya. Tanaman yang khas dari Dieng adalah adanya
buah Carica yang gak jauh beda dengan pepaya pada umumnya. Tapi carica ini
ukurannya lebih kecil dan rasa buah yang udah matang agak sedikit asam. Umumnya
buah ini diolah menjadi manisan yang banyak di jual sebagai oleh-oleh khas
Dieng. Tanaman khas lainnya adalah Purwaceng, sejenis tanaman obat seperti
gingseng dengan rasa yang khas yaitu pedas. Purwaceng tergolong tanaman langka
di Dieng, karena pembudidayaannya juga cukup lama. Dan khasiatnya, hmmm....
jangan salah. Katanya sih selain jadi minuman penghangat, juga bisa buat
meningkatkan stamina terutama untuk para pria. Tapi jangan salah, wanita juga
boleh minum kok. Hehehe.. Biasanya tanaman ini dikeringin dulu sebelum ditumbuk sampe halus dan dijadikan minuman. Kalo kalian jalan-jalan ke Dieng, kalian bisa beli
ramuan tradisional ini di toko pusat oleh-oleh.
Buah terong Belanda |
Kebun kentang |
Tanaman Purwaceng yang sudah dikeringkan |
Carica |
Buah Carica (kanan), warna kuning yang udah mateng :) |
Inside Carica |
Itu
tadi sekilas tentang dataran tinggi Dieng yang bisa gue share buat kalian
semua, good travellers! Eits, tunggu dulu! Cerita gak berhenti di sini. Karena
gue bakal share juga cerita perjalanan gue selama 3 hari menjelajah tanah para
dewa ini.
Jumat, 9 September 2016
Jumat
sore sekitar jam 5 gue berangkat dari terminal bis Poris Plawad di Tangerang
menuju Wonosobo dengan bis Dieng Indah. Dari Jabodetabek sebenarnya kita bisa
naik bis Sinar Jaya atau Dieng Indah yang langsung ‘menerbangkan’ kita ke
Wonosobo. Ongkosnya kalau hari normal berkisar antara 90-100 ribu rupiah. Tapi
karena kemarin gue bertepatan dengan long weekend libur Idul Adha, gak kaget
kalo harga tiket bis melonjak jadi 120 ribu. Sekira 13 jam perjalanan, akhirnya
gue sampai keesokan harinya di Terminal Mendolo, Wonosobo jam 7 pagi.
Sabtu, 10 September 2016
Suasana
terminal Mendolo di Wonosobo ini agak sedikit beda dengan kebanyakan terminal
yang bising, kotor, banyak preman atau pedagang asongan. Gak tau kenapa gue
ngrasa ‘kalem’ aja ada di sini, soalnya gak terlalu rame dengan hiruk pikuk,
dan sekelilingnya pun banyak pepohonan hehhee. Setelah istirahat bentar karena
efek ‘bus-lag’ dan sekalian beli tiket bus buat pulang ke Tangerang tanggal 12
September nanti, gue lanjutin perjalanan menuju Dieng. Gue pikir ada kendaraan
yang langsung yang nganter gue ke Dieng. Ternyata gue harus naek angkot dulu
menuju kawasan kota Wonosobo, trus nyambung naik bis kecil yang ke Dieng. Dari
terminal, gue naik angkot sampai dekat alau-alun Wonosobo, gak jauh dari
bis-bis kecil yang ke Dieng mangkal. Bilang aja ke supir angkot mau ke Dieng,
pasti dia udah tau nanti diturunin di mana. Setelah dapet bis, gue langsung
naek dan udah banyak penumpang. Biasanya bis-bis ini nunggu penuh dulu baru jalan
guys, jadi sabar aja yak! Cuaca pagi itu di kota Wonosobo cerah, tapi pas bis
udah jalan, lama-lama kok dingin yaa.. hehehe. Dari kota menuju Dieng, jalanan
akan berasa nanjak terus dan dijamin gak bakal bosen karena di kanan kiri jalan
view-nya keren, ladang-ladang sayur, bukit-bukit, ijo banget pokoknya!
Mendekati kawasan Dieng, kita bakal lihat tugu selamat datang yang bertuliskan ‘Dieng
Plateau’, yang artinya kita udah benar-benar berada di kawasan dataran tinggi
paling kece di Pulau Jawa ini. Dengan ongkos Rp14.000;- dan perjalanan sekitar
1 jam, akhirnya gue sampai di pertigaan Dieng, tujuan utama gue di travelling
kali ini.
Hasil 'asal' jepret selama perjalanan menuju Dieng. Ijooooo !!!! |
Sampai
di depan tugu Dieng, yang tulisannya gede banget, gue ketemu sama guide, sebut
saja Mas Diky. Lah emang namanya Diky sih hahaha. Gue pun diantar langsung ke homestay yang juga rumahnya.
Meski agak ke dalam dan gak berada di tepi jalan raya, penginapan yang gue
pilih kali ini bisa dibilang cocok buat gue yang suka dengan suasana hening dan
jauh dari kebisingan. Rumah tempat gue nginep ini berada di lahan yang lebih
tinggi, mengingat Dieng memang kontur tanahnya berbukit-bukit. Setelah
dipersilakan masuk, NYESSS... lantai aja dingin banget guys! Jangan heran kalo
siang hari di Dieng, di dalam rumah pun, apalagi di kamar berasa dingin banget.
Dan kamar yang gue tempati kali ini cukup nyaman lah, gak terlalu lebar tapi
pas buat gue sendiri. Cuma ada kasur, ukuran muat buat 2 orang, kamar ini
dipatok dengan harga 150 ribu
per malam. Harga sekian bisa dibilang harga yang murah dan paling murah
untuk penginapan di Dieng. Untuk kamar
mandi tersedia penghangat air kalo kalian gak tahan mandi pake air dingin yang
super dingin, tapi kamar mandinya misah ya, gak gabung jadi satu sama kamar.
Ngomong-ngmong soal penginapan di Dieng, biasanya banyak terdapat di tepi jalan
raya,dengan harga dan fasilitas yang beragam. Ada yang menyediakan TV, WiFi,
kamar mandi di dalem, sarapan, dan lain-lain. Dengan fasilitas seperti tu
biasanya dibandrol dengan harga 200 ribu ke atas. Ada juga yang satu rumah
khusus disediakan buat penginapan, biasanya dipakai mereka yang liburan
rame-rame. Karena gue kali ini SENDIRI, jadi gue lebih memilih homestay yang
murah aja. Yang penting gue gak tidur di jalanan aja haha.. Oia, untuk
penginapan yang gue tempatin, kalo mau bikin kopi, teh, juga disediakan sama
yang punya rumah/homestay ini. Tapi karena gue gak biasa ngopi atau ngeteh,
yang punya rumah heran karena udah disiapin air minum anget kok gak
diminum-minum hahaha.
Rumah Mas Diky, merangkap sebagai homestay |
Kamar yang sederhana tapi nyaman |
Selepas
kenalan sama keluarga Mas Diky, dan ngobrol-ngobrol, gue putuskan buat mandi
dan istirahat dulu. Waktu itu masih sekitar jam setengah 10 pagi. Agenda gue
hari itu sih langsung explore Dieng sedapatnya hahaha, kemana aja yang penting
jalan-jalan sampe sore. Dan akhirnnya
hari itu sepakat sama guide yang siap anterin gue kemana aja buat jelajah ke candi-candi yang ada di
Dieng.
-----------------
KOMPLEK CANDI ARJUNA
Sekitar
jam setengah 2 siang, dengan cuaca yang cerah-cerah syahdu, gue memulai
petualangan di Dieng kali ini menuju komplek Candi Arjuna. Gak jauh dari
pertigaan Dieng, ada tugu yang bertuliskan ‘selamat datang di objek wisata
Dieng, Banjarnegara’. Seperti yang udah jelasin di awal, lokasi wisata Dieng
terbagi dalam 2 wilayah kabupaten. Dan
untuk wisata candi Arjuna lokasinya masuk ke Kabupaten Banjarnegara. Dari
lokasi parkir, gue masuk lokasi candi dengan tiket seharga Rp 15.000,-.
Selamat datang di komplek Candi Arjuna |
Memasuki
komplek candi Arjuna, kita akan melewati sebuah area yang dipenuhi bebatuan
seperti reruntuhan batuan candi. Di sini ada sebuah bangunan yang biasa dipakai
untuk istirahat atau persiapan sebelum peribadatan atau keagamaan di komplek
candi Dieng. Tempat ini disebut dengan Dharmasala. Nah, sekarang kita akan
lebih mendekat ke candi-candi yang ada di komplek ini. Namanya juga komplek,
pasti ada beberapa candi yang ada di sini. Gak cuma Candi Arjuna
yang terlihat paling gagah dan utuh di sini, tapi di hadapannya persis berdiri
juga Candi Semar. Lanjut ke sisi sebelah selatan Candi
Arjuna ada Candi Srikandi, menyusul di sampingnya ada Candi Puntadewa yang saat itu sedang dalam proses renovasi dan
paling selatan ada Candi Sembadra. Kalau
dilihat-lihat sih emang Candi Arjuna yang paling keliatan tinggi dan kece alias
hits. Tapi tiap candi punya karakteristik masing-masing. Secara umum dari
beberapa literatur yang gue baca, salah satu ciri khas candi Hindu adalah tidak
terlalu banyak bahkan gak ada relief pada dinding candi. Sama halnya dengan
candi-candi yang ada di Dieng, terutama yang ada di komplek Candi Arjuna ini. Banyak
pengunjung yang mengabadikan momen-momen alias foto-foto sambil mencoba masuk
ke pintu-pintu candi atau sekedar berpose di depan pintu. Tapi satu hal yang
perlu goodtravellers tau, di sekitar candi sudah dipasang beberapa himbauan
agar tidak menaiki candi. Yang gue tangkep dari peringatan ini adalah jangan
naik-naik ke candi yang emang gak dipergunakan untuk dinaiki atau bahkan
diinjak. Okelah kalau cuma naik tangga, trus nyoba masuk ke dalam tubuh candi
lewat pintu, tapi jangan nyoba manjat-manjat demi pose kekinian atau kekonoan
atau apalah! Plis, ini candi, bukan pohon kelapa!
Komplek Candi Arjuna |
Candi Srikandi |
Masih di candi Arjuna |
CANDI GATOTKACA
Berada di sebelah barat komplek Candi
Arjuna, candi yang satu juga gak boleh terlewatkan buat di-explore. Yap, Candi
Gatotkaca! Meski harus berjalan kaki beberapa menit, candi ini bisa dibilang lokasinya gak jauh dari dari komplek Candi Arjuna dan Museum Kailasa (ada di pembahasan
selanjutnya). Meski terlihat berdiri sendirian, tapi sebenarnya Candi Gatotkaca
ini dulunya ditemani beberapa candi yang berada dalam satu komplek. Ada Candi
Nakula, Sadewa, Gareng dan Petruk. Candi Nakula dan Sadewa hanya berupa
tumpukan batu candi yang ada di sisi Candi Gatotkaca. Sedangkan Candi Gareng
dan Petruk udah gak ditemukan lagi sisanya :( Dan pembangunan Candi Gatotkaca pun
diperkirakan bersamaan dengan Candi Arjuna yakni sekitar abad 8 masehi. FYI, buat masuk ke candi Gatotkaca ini kita
gak dikenakan biaya alias gratis!
Candi Gatotkaca dengan tumpukan bebatuan Candi Nakula-Sadewa di sisinya |
MUSEUM KAILASA
Puas
foto-foto di Candi Gatotkaca, gue
lanjut ke destinasi selanjutnya, Museum
Kailasa. Museum ini lokasinya gak jauh dari candi Gatotkaca. Museum ini menyimpan
segala hal tentang Dieng, mulai dari tayangan video tentang asal usul dataran
tinggi Dieng, arca-arca yang sengaja disimpan di sini untuk menjauhkan dari
tangan-tangan ‘nakal’ dan gak bertanggung jawab, galeri foto tentang budaya,
kehidupan masyarakat dan kearifan lokal, dan masih banyak lagi. Untuk masuk ke
museum ini kita dikenakan biaya cuma Rp 5.000,- . Jadi ada 2 bangunan di sini,
satu untuk penyimpanan arca-arca, satu lagi sebagai tempat galeri everything
tentang Dieng plateau. Nah, kalo ada tempat kaya gini, manfaatkan buat tambah
wawasan. Jadi gak cuma maen, foto-foto dan pulang, tapi juga kita dapet ilmu
atau pengalaman baru. Setelah keluar dari museum, gue di ajak sama Mas Diky
(selaku guide kece hehehe..) buat lihat-lihat view dari atas museum. Ternyata
di rooftop museum ada satu tempat yang asik banget buat foto-foto dan menikmati
pemandangan komplek candi Arjuna dari atas. Karena di belakang museum Kailasa
ada lahan miring yang juga dipakai untuk perkebunan dan taman-taman dengan
beberapa gazebo untuk tempat duduk-duduk atau istirahat.
Di antara arca-arca yang disimpan di Museum Kailasa |
Ruangan buat 'nonton' sejarah terbentuknya Dieng dan segala seluk beluknya
|
CANDI SETYAKI
Masih menjelajah keunikan dan
keragaman candi-candi di Dieng, selepas dari museum Kailasa, gue lanjutin ke
komplek Candi Setyaki. Gak jauh beda sama Candi Gatotkaca, candi yang lokasinya
juga gak jauh dari komplek candi Arjuna ini juga berdiri sendirian. Hanya ada
bebatuan candi di sekitarnya yang diperkirakan adalah susunan batu dharmasala
yang dulunya dipakai untuk tempat peristirahatan saat ada upacara atau acara
keagamaan. Candi Setyaki yang terletak di sisi sebuah tanah lapang dengan
rumput menghijau ini memiliki beberapa gambar dinding atau relief, dan terlihat lebih bagus dan kokoh.
Katanya sih belum lama dipugar, so keliatan lebih bagus dan mulus. Gak jauh
beda dengan candi-candi lainnya, candi ini juga punya anak tangga yang
mengantarkan pengunjung yang pengen nyoba masuk ke tubuh candi. Tapi tetap
jangan lupa untuk tidak memanjat-manjat bagian candi yang memang tidak untuk
dipanjat. Bertingkah sewajarnya aja ya goodtravellers!
In front of Setyaki temple |
KOMPLEK CANDI BIMA
Candi Bima disebut sebagai candi yang
paling besar dan megah di antara candi-candi lainnya. Lokasinya lebih jauh ,
searah dengan objek wisata Kawah Sikidang, atau mengarah ke selatan dari komplek
Candi Arjuna. Jadi kita harus keluar dulu dari area parkir komplek Candi
Arjuna. Kurang lebih 1 km jaraknya dari candi Arjuna. Memiliki tinggi sekitar 8 meter dan terleatak
di atas sebuah bukit, menjadikan Candi Bima terlihat megah dan menawan. Bagian
ujungnya terlihat seperti sebuah stupa yang ada di candi Borobudur di Magelang
hehehe. Permukaan candi pun terlihat lebih mulus dan bagus karena emang belum
lama dipugar juga. Sama dengan candi-candi lain di Dieng, diperkirakan candi
Bima ini dibangun pada abad 7-8 Masehi.
Bersama Candi Bima yang megah dan kece |
With my guide, Mas Diky |
Candi-candi di dataran tinggi Dieng
tercatat sebagai candi Hindu tertua di Pulau Jawa dan dipersembahkan buat dewa
Siwa/Civa. Ini bisa dilihat dari ciri-cirinya yang ukurannya gak begitu besar
dan memiliki sedikit relief pada dinding candinya. Tapi kalo gue ditanya mana
candi yang paling keren, ya jawaban gue adalah candi Arjuna dan Bima hehehe.
Tapi yang paling penting adalah kita harus menghargai dan melestarikan
mahakarya nenek moyang yang tergambar pada setiap bangunan candi. Bayangkan
aja, dengan segala keterbatasan pada zaman dulu tapi bisa menghasilkan sesuatu
yang indah dan megah. Satu lagi, di semua komplek candi di Dieng sudah
disediakan fasilitas seperti tempat sampah. So, jangan buang sampah sembarangan
ya, sekecil apapun itu!
Perjalanan gue di hari pertama di
Dieng berhenti di candi Bima. Sebenernya masih ada satu komplek candi lagi yang
perlu gue kunjungin yaitu komplek Candi Dwarawati yang lokasinya juga berjauhan
dari candi-candi lainnya. Tapi karena hari udah mau maghrib, gue putuskan buat
balik ke homestay, dan melanjutkan perjalanan explore Dieng plateau lagi besok,
termasuk berkunjung ke Candi Dwarawati, dan ......sunrise dibukit sikunir!
To be continued ...
Komentar
Posting Komentar