Explore Purwakarta : Waduk Jatiluhur & Situ Wanayasa
Purwakarta.
Sebuah kabupaten yang lagi gencar-gencarnya meng-expose wisata alam dan juga
budaya tentunya. Gak jauh dari ibukota Jakarta, kota kecil dengan beragam
keindahan alam, wisata kuliner dan juga budaya ini bisa jadi destinasi
alternatif untuk liburan akhir pekan. Gw sendiri sebelumnya belum pernah ‘menjamah’
wisata yang ada di kabupaten yang punya air mancur spektakuler ini. So, long
weekend Mayday kemarin, gue manfaatin buat #ExplorePurwakarta. Destinasi utama
gue kali ini adalah Waduk Jatiluhur, Agrowisata Giri Tirta Kahuripan, dan Situ
Wanayasa.
DAY 1 – WADUK JATILUHUR
Konsep
jalan-jalan kali ini tetap pakai backpacker style seperti biasa, memanfaatkan
angkutan umum yang ada. Kali ini gue bareng partner gue sekaligus partner kerja
juga, Ecky. Sempat galau menjelang keberangkatan, rencana mau naik motor ke
Purwakarta, biar lebih leluasa buat menjelajah lokasi-lokasi wisata. Namun
karena motor Ecky (dan motor gue juga) masih ‘kurang sehat’, finally kita
putuskan naik kereta dari stasiun Pasar Senen menuju Purwakarta. Naik kereta
Serayu kelas ekonomi dengan harga Rp 67.000,- gue dan Ecky berangkat jam 09.15
WIB pagi itu. Sampai di stasiun Purwakarta jam 11 siang, niatnya pengen
foto-foto di area gerbong-gerbong kereta bekas yang ada di seberang lintasan
rel kereta. Unik sih, instagramable! Tapi sama satpam gak dikasih ijin, malah
ditunjukkin selembar kertas pemberitahuan yang ditempel, yang isinya tentang
perizinan ke pihak DAOP buat mereka-mereka yang pengen melakukan pengambilan
gambar, baik untuk keperluan syuting, fotografi, atau yang lain. Dan
akhirnya... bye! Gue sama Ecky milih keluar area stasiun dan lanjutin
perjalanan. Gak penting-penting amat sih hahaha.. Niat awal cuma foto-foto
biasa pake kamera handphone, tapi karena gue bawa tripod, pihak keamanan
stasiun mungkin ngira gue mau syuting. Tapi buat temen-temen yang mau niat
foto-foto di area ‘kuburan’ gerbong
kereta, ada baiknya tetap ikuti aturan yang ada.
Depan stasiun |
Keluar
area stasiun, rasanya kayak masuk sebuah kota kecil yang rapi dan unik dengan segala
hiasannya. Patung, hiasan lampu yang berbentuk caping, dan aksesoris-aksesoris
lainnya. Dalam hati gue bilang: ini toh,Purwakarta. Ini memang first time gue
main ke Purwakarta. Sebelumnya cuma numpang lewat doang kalo naik bis atau
kereta ke Bandung hehehe.. Back to the destination! Tujuan pertama hari itu
adalah ke waduk Jatiluhur. Sempat browsing dulu, akses kesana adalah naik
angkot ke arah Ciganea dulu, baru nyambung yang ke arah waduk. Dan berkat
bantuan akang-akang baik hati di depan stasiun, gue dapet angkot 04 tujuan
Ciganea warna merah coklat. Melewati jalan-jalan perkotaan Purwakarta, Jalan
Singawinata yang ada di sisi Situ Buleud yang biasa dipakai untuk pertunjukkan
air mancur Sri Baduga, lewat Pasar Rebo, pertigaan Jalan Kapten Halim yang ada
tugu ‘gentong terbang’-nya (haha..penasaran ya?) sampai masuk kawasan Ciganea,
kita turun di pertigaan sebelum terminal Ciganea lalu nyambung angkot dengan
tujuan waduk Jatiluhur yaitu no 11. Untuk ongkos dari depan stasiun Purwakarta
sampai Ciganea Rp 4.000,-.
Perjalanan
masih berlanjut bersama angkot menuju waduk Jatiluhur. Lumayan jauh juga, dan
jalanannya pun banyak tikungan dan tanjakan. Waktu itu kebetulan angkotnya lagi
sepi penumpang, jadi cuma gue sama Ecky dan tentunya pak supir yang tangguh.
Kenapa tangguh? Beberapa kali pas tanjakan, angkotnya kaya orang senggukkan.
Mati mesin. Dinyalain lagi, mati lagi, nyalain lagi, jalan lagi, ceguk-ceguk
lagi, Hahaha, kocak juga dan sempat khawatir kenapa-kenapa. Tapi untungnya tuh
angkot kuat banget dan bisa nganter kita sampai tujuan. Mendekati kawasan
wisata waduk Jatiluhur, kita bakal nemu gerbang bertuliskan “Selamat Datang
Grama Tirta Jatiluhur”. Disinilah tempat bayar tiketnya. Tapi, sesuai dengan
artikel-artikel yang gue baca sebelumnya, masuk kawasan wisata ini dengan naik
angkot, kita gak perlu bayar alias free/gratis! Jadi cuma bayar angkotnya aja.
Setelah melewati gerbang, jalanan akan menurun mendekati lokasi waduk. Ada satu
spot bagus buat foto-foto sambil kuliner juga di sebuah resto, bernama Istora.
Bukan Istora Senayan ya! Tempat ini biasanya cocok buat menikmati view sunset
dengan berfoto-foto dari atas sebuah ‘dermaga’ ala-ala kapal. Kemarin gak
sempat main ke sana, karena pengen langsung mendekat ke bagian bawah tepi
waduk. Jadi dari tikungan depan gerbang istora masih lanjut lagi ke bawah
ngikutin jalur angkot. Gue juga gak paham betul ini angkot sampai mana. Yang
jelas, gue turun di satu lokasi tepi waduk yang ada plang bertuliskan Dermaga
Biru. Di situ banyak banget perahu yang disewakan untuk sekedar berkeliling
waduk, dan harganya pun bervariasi. Tapi gue dan Ecky lebih memilih menikmati
view di tepi danau karena sama-sama ‘ngeri’ buat naik perahu *skip*. Oia,
memasuki kawasan wisata waduk Jatiluhur banyak banget warung yang menyuguhkan
menu spesial ikan dengan berbagai olahan, salah satunya ikan bakar. Dan
pastinya ikan-ikannya berasal dari waduk, masa iya dari laut China Selatan. Dan
FYI nih guys, salah satu kuliner khas Purwakarta adalah sate maranggi, yang
identik dengan bumbu oncom, dan bisa dinikmati pake nasi atau ketan bakar.
Penasaran? Wajib coba deh, kalo ke Purwakarta .. ! Rata-rata harga per porsinya
adalah Rp 25.000,-.
Sate maranggi tepi waduk Jatiluhur |
Sekilas
tentang bendungan atau waduk Jatiluhur, sebenarnya waduk ini punya nama waduk
Ir. H. Juanda yang punya luas sekitar 8,3 ha. Jadi gak heran kalo bendungan ini
diklaim sebagai bendungan atau waduk terbesar di Indonesia. Pengerjaannya pun
memakan waktu kurang lebih 10 tahun, sejak 1957 dan diresmikan oleh Presiden
Soeharto waktu itu tahun 1967. Selain sebagai pembangkit listrik tenaga air, waduk
yang terletak 9 km dari pusat kabupaten Purwakarta ini juga berfungsi sebagai
pengedali banjir di wilayah Karawang, budidaya perikanan, penyedia air untuk
sarana irigasi, dan juga untuk sarana olahraga air dan pariwisata.
Puas
foto-foto di tepi waduk, gue sama Ecky niatnya pengen explore area deket
bendungan yang ada di sisi utara. Setelah nekat jalan kaki sekitar 1 km
jaraknya dari jalan raya, sampe lah di gerbang yang menuju area tanggul. Tapi
ternyata gak sembarang orang boleh masuk area ini, jadi ya... balik lagi aja
hahaha. Cuma bisa lihat megahnya tanggul dari kejauhan aja jadinya.
Tanggul waduk Jatiluhur |
Cuma bisa memandang dari kejauhan :D |
Waktu
udah menunjukkan jam 3 sore. Sesuai itinerary, jam segitu kita harus udah cabut
dari kawasan waduk Jatiluhur dan bergerak kembali ke area kota buat nyari
angkutan menuju Wanayasa. Next detination adalah ke danau atau Situ Wanayasa di
keesokkan harinya. Jadi sore itu kita berniat ke Wanayasa buat nyari penginapan
dulu, dan ke danau keesokkan harinya. Dari pusat kota Purwakarta menuju
Wanayasa gak dekat guys! Wanayasa ini adalah salah satu kecamatan yang ada di
sebelah tenggara Kabupaten Purwakarta. Perlu waktu sekitar 30 menit lebih buat
naik angkot menempuh jarak kurang lebih 20 km, dengan jalan beraspal mulus
namun banyak tikungan tajam. Jalan menuju Wanayasa juga merupakan salah satu
jalur menuju Bandung dan juga Subang. Sekitar jam setengah 6 sore, gue turun
dari angkot tepat di sisi Situ Wanayasa. FYI, ongkos dari Purwakarta ke
Wanayasa adalah Rp 10.000,-. Sore itu cuaca agak mendung. Jalanan tepi danau
yang cukup ramai oleh lalu lalang kendaraan baik yang sekedar lewat atau sambil
mampir di warung-warung yang sebagian besar menjajakan makanan khas daerah
Purwakarta, sate maranggi. Secara gak langsung gue dan Ecky udah sampai di
destinasi danau Situ Wanayasa, tapi gak niat buat mengeksplor kawasannya sore
itu juga, karena kita harus nyari penginapan dulu buat istirahat semalaman
sebelum besok pagi lanjut jalan-jalan lagi. Penuh drama pas nyari-nyari
penginapan di sekitar situ Wanayasa. Nanya-nanya ke beberapa orang, ada yang
bilang di dekat terminal Wanayasa ada penginapan, pas disamperin ada yang
bilang udah gak beroperasi. Nanya-nanya apa ada rumah-rumah warga yang boleh
disinggahi untuk menginap dan mnyewakan kamar, hasilnya nihil. Ternyata kata
seorang warga hal itu masih jadi wacana, karena ke depannya memang mau dicoba
seperti itu. Ok lah, bebas! Yang jelas saat itu dari maghrib sampe jam 8 malam
berasa jadi gembel yang kebingungan mau nginep di mana. Sampe akhirnya kita
putuskan buat ikuti saran seorang tukang ojek yang sebenarnya dari awal udah
recommend penginapan, meski agak jauh dari Situ Wanayasa dan harus balik arah
buat ke sana, namanya Rumah Makan Batu Apung Alam Hijau. Jadi ini sebuah rumah
makan yang di bawahnya sekaligus menyewakan penginapan dengan tarif Rp
450.000,- per malam. Gak cuma penginapan saja ternyata. Di bawah nya lagi ada
beberapa fasilitas seperti kolam renang dan arena outbound buat keluarga. Kalau
dari arah Purwakarta, lokasinya sekitar 900 meter sebelum Situ Wanayasa, tepat
berada di sebuah tikungan. Lumayan tempatnya, model kamarnya kayak kos-kosan
dengan fasilitas TV, kasur muat 2 orang, kamar mandi (ada air panasnya juga).
Kalau gak salah lihat kemarin ada 6 kamar yang disewakan di sini. Harga segitu
pun kita juga dapet breakfast nasi goreng. Dan singkat cerita, setelah browsing
dan memantapkan diri, akhirnya kita naik angkot lagi dari pertigaan Wanayasa
menuju lokasi penginapan. Sampai di
sana, kurang lebih jam 8 malam lewat, kita langsung check in dan beruntung
banget masih ada beberapa kamar yang kosong. Abis mandi dan sempat jalan-jalan
malam sekitar penginapan, kebingungan mau beli makan di mana karena lokasinya
emang agak jauh dari keramaian dan toko. Setelah pikir-pikir, baru nyadar kalau
kita nginep di tempat yang sekaligus punya rumah makan. JADI KENAPA BINGUNG MAU
MAKAN DIMANA??? HAHAHAHA! Jadi lah malam itu pesen ayam goreng sama nasi dengan
harga Rp 20.000,- seporsinya. Terjangkau sih, di anterin langsung pula ke
kamar. Jadi karena berada di lahan yang miring, rumah makan ada di atas, dan penginapan
di bawahnya. Setelah kenyang makan, ngobrol masalah setan-setanan buat
nakut-nakutin Ecky (padahal mah gak ada apa-apa) sekitar jam 11 malam, kita pun
istirahat.
Sarapan |
View depan penginapan |
Depan teras |
DAY 2 – SITU WANAYASA & AGROWISATA GIRI TIRTA KAHURIPAN
Jam
setengah 7 pagi, gue dan Ecky bergegas cuci muka dan dandan ala kadarnya
(karena emang udah ganteng ya ganteng aja). Tujuan pagi ini adalah enjoy the
morning view of Situ Wanayasa. Ekspektasi kita pergi datang sepagi mungkin ke
danau yang punya background gunung Burangrang itu biar dapet view permukaan
danau yang masih kebul-kebul atau masih terselimuti kabut tipis nan
menggemaskan. Tapi karena kesiangan, dan cahaya mentari pun udah keburu menyapu
permukaan Situ Wanayasa. Dari
penginapan, kita putuskan jalan kaki aja, karena nunggu angkot kayaknya
masih jarang yang lewat sepagi itu. Bisa dibilang dari penginapan Alam Hijau
menuju Situ Wanayasa ini gak jauh, dan bisa banget dijangkau dengan jalan kaki,
apalagi pas pagi hari. Dan ternyata juga banyak yang jogging di jalan raya pagi
itu. Berjalan santai di jalanan aspal yang masih sepi kendaraan dengan udara
dan suasana pedesaan bikin pagi itu agak bikin lupa kalau kita lagi liburan
hahaa. Dan sampai di Situ Wanayasa, gue pun mencoba mengeksplor keindahan pagi
dari depan sebuah bangunan pendopo yang ada di tepi danau. Menurut info dari
bapak-bapak yang pagi itu membersihkan lingkungan sekitar pendopo, bangunan ini
biasa dipakai dan disewakan untuk acara-acara tertentu seprti pernikahan. Selain
itu beberapa pengunjung Situ Wanayasa pun memanfaatkan bangunan pendopo ini
untuk sekedar berteduh atau beristirahat sambil menikmati view danau. Situ
Wanayasa sendiri memiliki luas sekitar 7 ha, dan berada di ketinggian 600 meter
di atas permukaan laut. Jadi tak heran kalau udara di sekitar terasa sejuk. Di
tengah danau terdapat sebuah daratan kecil yang ditumbuhi pepohonan rindang. Di situ juga terdapat sebuah makam
salah seorang pendiri Purwakarta, yakni R. Aria Suriawinata yang meninggal pada
tahun 1827 yang juga merupakan bupati Karawang ke-9. Situ Wanayasa ini
dikelilingi jalanan desa yang sudah ditata sedemikian rupa menambah kesan
artistik khas Purwakarta. Jadi kalau mau explore danau ini, coba kelilingi
semua penjuru danau terutama di sisi sebelah timur danau. Sepertinya Situ
Wanayasa ini cocok buat hunting view sunrise.
Tempat makam R.A Suriawinata |
Puas
menjelajah segala penjuru Situ Wanayasa, gue pun kembali ke penginapan. Setelah
sarapan, mandi dan repacking, sekitar jam 10 pagi gue dan Ecky check out dan
melanjutkan perjalanan ke destinasi selanjutnya, yakni Agrowisata Giri Tirta
Kahuripan a.k.a GTK. Dari depan Rumah Makan Batu Apung Alam Hijau, kita naik
angkot yang ke arah Purwakarta (sama dengan saat berangkat ke Wanayasa)
berwarna kuning. Menempuh perjalanan selama kurang lebih 15 menit, gue bilang
sama supir turun di persimpangan jalan menuju Giri Tirta Kahuripan. Setelah
turun, di persimpangan jalan ini ada pos ojek yang di mana akang-akang tukang
ojeknya siap mengantarkan kita ke tujuan yakni GTK dengan ongkos Rp 10.000
sekali jalan, jadi kalau pulang pergi Rp 20.000 ya? Pinterrrrrrr.... Dari
pangkalan ojek, untuk sampai di lokasi agrowisata ini masih menempuh jarak
sekitar 3 km melewati perkampungan penduduk dengan jalanan beraspal. Jadi lebih
recommended naik ojek aja ya buat kalian yang ke sini gak bawa kendaraan
pribadi. Setelah sampai di pintu gerbang, gue langsung menuju loket untuk
pembelian tiket masuk. Harga tiket masuk ke Agrowisata Giri Tirta Kahuripan ini
adalah Rp 25.000, sedangkan untuk kolam renang sky poolnya harus bayar lagi
dengan harga Rp 60.000. Nah, inilah yang bikin gue pengen dateng ke sini karena
pengen main dan basah-basahan di kolam renang yang ada di area perbukitan ini.
Makanya dinamakan skypool dan inilah yang menjadi daya tarik bagi para
pengunjung yang datang ke GTK ini. Sebenarnya Giri Tirta Kahuripan ini adalah
sebuah resort yang sekaligus menyuguhkan wahana rekreasi wisata alam yang
berada di lingkungan yang asri, sejuk dan jauh dari hingar bingar perkotaan.
Namanya saja agrowisata, pastinya di lahan seluas 36 ha ini tertanam aneka
jenis pohon dan tanaman buah yang dibudidayakan, beberapa di antaranya adalah
manggis, belimbing, durian, dan masih banyak lagi. Kalau lagi berbuah , kita
diperbolehkan memetik sendiri untuk mencicipi. Mencicipi ya, pastinya dalam
jumlah sedikit. Kalau sekilo mungkin beli namanya hahaha. Selain itu di sini juga terdapat fasilitas
outbound, kolam pancing, kolam ikan amazon (yang gedenya gede banget),
taman burung, kandang beberapa satwa
yang dilindungi, area camping, dan masih banyak lagi. Tapi jangan khawatir
guys, kita bisa lihat itu semua hanya dalam hitungan menit. Karena apa? Karena
di GTK ini tersedia angkutan berupa mobil terbuka namanya mobil senyum, yang akan mengantar kita keliling area agrowisata
GTK. Dan enaknya lagi sang supir pun merangkap sebagai guide. So, jangan malu
buat nanya-nanya kalau kita perlu informasi seputar area agrowisata ini. Selama
naik mobil senyum ini kita bisa turun atau singgah di lokasi mana saja yang
kita mau, meski mobil akan terus jalan membawa penumpang lainnya. Mobil senyum
ini gak cuma satu kok, ada banyak mobil yang siap mengantar dan membawa kita
kembali ke lokasi asal.
Setelah
puas diajak keliling melihat seluruh area agrowisata, kita lanjut main ke area skypool dimana kita
harus melewati loket lagi untuk pembelian tiket masuknya seharga Rp 60.000.
Setelah mendapatkan tiket, kita akan dikenakan sebuah gelang anti air sebagai
tanda. Dan mungkin karena situasi lagi long weekend, jadi udah gak heran kalau
siang itu kolam renang yang terlihat indah di foto-foto itu jadi ramai
pengunjung. Meskipun demikian, gue tetap menikmati view yang tersaji dan
terkonsep oleh resort Giri Tirta Kahuripan ini.
Sore
harinya, sekitar jam 3 kita udah dalam perjalanan pulang menuju kota Purwakarta
dan segera kembali ke Tangerang. Niatnya sih naik kereta, tapi apa daya udah ketinggalan last departure train . Akhirnya kita putuskan buat naik bus buat
yang menuju Kampung Rambutan, Jakarta. Dari kota Purwakarta, untuk dapat naik
bis ke Kampung Rambutan, yakni bisa Warga Baru, bisa naik angkot 02 atau 05
yang mengarah ke Sadang. Turun di perempatan Sadang, nah dari situ kita bisa
tunggu bis Warga Baru jurusan Jakarta-Subang yang lewat dengan ongkos Rp
20.000.
Well,
itu tadi cerita backpacker gue dan Ecky jelajah wisata di Purwakarta, meskipun
baru beberapa destinasi aja. Sebenernya next time pengen dateng lagi ke
Purwakarta, karena kemarin belum sempat
liat pertunjukkan air mancur Sri Baduga yang spektakuler itu. Tapi yang pasti
udah nyobain sate marangginya hehehe. Anyway gue suka sama hiasan dan tata kota
Purwakarta, terlebih kemarin tanggal 1 Mei pas banget ada pawai sosial budaya. Dan
bener juga sih kata temen gue bilang, jangan sungkan-sungkan kalau nanya sama
orang di Puwakarta, karena orang-orangnya baik dan ramah-ramah hehehe...
Waah Terima kasih banyak informasinya, insyaaAllah mau kesana juga, jadi sedang cari2 referensi wisata hehe
BalasHapus