SITU CISANTI : Kesejukan di Hulu Citarum

Apakabar Pangalengan? Mungkin pertanyaan inilah yang selalu muncul tiap gw lagi kangen suasana tentram di salah satu daerah dingin di selatan Bandung itu. Pertama kali datang ke sana Agustus 2016 lalu dengan modal nekad karena penasaran sama suasana pagi di Situ Cileunca yang syahdu, dan juga pemandangan hijau perkebunan teh di kawasan Malabar, gak jauh dari Pangalengan. Gue sebut perjalanan nekad karena ala-ala backpacker gembel yang tidur aja sampe di depan emperan toko, dan juga drama ketinggalan angkutan dari kota Bandung sampe akhirnya diturunin di tengah perjalanan menuju Pangalengan, tengah malam pula! Cerita selengkapnya udah gue share di sini ya!


Tapi kali ini gue gak mau ngulang ‘drama’ itu lagi hehehe. Belajar dari pengalaman, untuk menuju Pangalengan kita jangan sampe kemaleman tiba di kota Bandung, karena dari sini lah angkutan menuju Pangalengan berangkat. Sekedar review ulang, kalo kita mau ke Pangalengan dari kota Bandung kita bisa naik bis kecil yang start dari terminal Leuwi Panjang. Atau, kita juga bisa naik mobil ELF dari terminal Tegalega yang ada di seberang Lapangan Tegalega, tepatnya di Jalan Otto Iskandar Dinata, Bandung. ELF dari terminal Tegalega terakhir berangkat sekitar jam 8 malam. Pengalaman kemarin, gue naik kereta dari Jakarta tiba di Bandung jam setengah 7 malam. Jadi buru-buru deh, dari stasiun naik angkot yang mengarah ke Tegalega. Ongkos naik ELF dari Tegalega ke Pangalengan adalah Rp 20.000,-. Menempuh perjalanan sekitar 2 jam menuju Pangalengan.

Ok, masalah transport terselesaikan! Nah, sekarang destinasi nih guys.. Kebetulan kemarin gue nemenin temen gue (sebut saja Andre) yang pengen tau Pangalengan tuh kaya gimana sih, jadi gue rekomendasikan buat ke Situ Cileunca aja. Setelah 2 jam perjalanan, sekitar jam setengah 10 malam, gue dan Andre sampai di pertigaan Pangalengan, depan terminal. Dari situ gue langsung menuju penginapan di hotel Puri yang lokasinya gak jauh dari terminal Pangalengan. Cukup terjangkau tarif permalamnya, hanya Rp 275.000, untuk standard room, dengan pilihan bisa single atau double bed. Harga tersebut udah termasuk breakfast dengan menu nasi goreng spesial, ada fasilitas TV, kamar mandi yang bersih, tapi jangan berharap ada AC ya, tanpa AC pun udara udah dingin banget hehehe. Recommended sih menurut gue, hotel Puri ini, lokasinya juga gak jauh dari wisata Situ Cileunca yang berjarak 3km dari pusat kecamatan Pangalengan, di mana di sini juga ada pasar, terminal, yang pastinya membuat lokasi ini gak sepi-sepi amat. Kalo malem-malem laper, pengen nyari makan atau cemilan, don’t worry, ada banyak tempat makan di tepi jalan yang siap bikin perut kenyang.

Pagi-pagi, sekitar jam setengah 6, kita niat banget buat hunting sunrise di Situ Cileunca. Dengan naik ojek dengan tarif Rp 10.000 per orang, sampailah gue dan Andre di Situ Cileunca. Gue pun mengulang memori tahun lalu saat pagi hari menikmati indahnya dan hangatnya mentari pagi di tepi danau luas itu. Gak cuma gue berdua, tapi nyatanya udah ada beberapa landscaper yang udah standby sejak pagi bahkan ada yang abis camping di tepi danau.







Puas menikmati sejuknya pagi di Situ Cileunca, gue dan Andre bergegas kembali menuju ke penginapan untuk sarapan dan persiapan untuk ke destinasi selanjutnya. Nah, next destinastion ini yang sebenarnya pengen gue bahas di artikel ini, tapi gak papa lah ya gue kasih intro panjang dulu barusan hehehe. Well,kali ini tujuan gue adalah ke sebuah danau (lagi) di kawasan Bandung selatan, bernama Situ Cisanti. Udah pernah denger belum? Lokasinya jangan dikira deket dengan situ Cileunca, seperti yang gue kira sebelumnya. Setelah riset dari berbagai sumber, ternyata menuju lokasi Situ Cisanti ini dari Pangalengan masih butuh waktu sekitar 1,5 jam naik angkutan umum! Secara administratif danau yang merupakan hulu dari sungai Citarum ini terletak di Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung. Tidak adanya trayek angkutan yang menuju Situ Cisanti dari Pangalengan membuat gue mau gak mau harus menyewa jasa angkot yang mau nganter sampai tujuan dengan ongkos yang cukup... cukup bikin menghela napas juga hehehe. Waktu itu sang supir angkot meyakinkan gue kalau emang gak ada angkutan menuju ke situ Cisanti, so kalau mau carter angkot dengan biaya Rp 75.000,- per orang. Setelah mikir-mikir dan negosiasi yang alot, terpaksa gue menyanggupi harga tersebut, berdua dengan Andre, temen gue. Oia, Rp 75.000,- itu gak cuma sekali jalan ya, tapi sekaligus jalan pulang. Jadi supir angkotnya mau nungguin kita selama kita main di lokasi wisata situ Cisanti hehehe..

Jalan menuju Situ Cisanti searah dengan arah menuju perkebunan teh Malabar. Dari situ kita masih lanjut lagi sampai lokasi pemandian air hangat Cibolang, dan maaaasih lanjut jauh lagi! Selama perjalanan mata kita emang dimanjakan dengan view hamparan kebun teh di sana sini. Tapi tidak dengan badan kita. Kenapa? Gak jarang aspal jalanan yang dilalui hancur dan hanya berupa jalanan berbatu dan berdebu pula. Kebanyang kan kontraksi tubuh kita dalam angkot saat itu kaya apa, berdua pula! Ditambah jalanan yang  lebih sering menanjak saat berangkat menuju situ Cisanti. Hhhh..pokoknya perjalanan di dalam angkot waktu nge-rock abis dah! Tapi memasuki kawasan Kertasarie, jalanan sudah mulus sampai setibanya di depan lokasi Situ Cisanti.





Setelah menempuh perjalanan sekitar satu setengah jam, sampailah gue di depan pintu masuk Situ Cisanti. Tiket masuk menuju lokasi wisata danau ini adalah Rp 10.000,- (exclude parkir). Tak jauh dari lokasi pembelian tiket, terhampar area lapang yang dihiasi pepohonan tinggi berjajar rapi, yakni pohon eucaliptus. Nah, untuk menuju ke lokasi danau, kita berjalan menuruni anak tangga dan sampailah di tepi danau Situ Cisanti yang juga diramaikan oleh para pedagang jajanan atau cinderamata.


Eucaliptus


Kini saatnya kita explore setiap sudut Situ Cisanti. Danau yang berada di bawah kaki gunung Wayang ini punya luas area sekitar 10 hektar. Dan seperti yang gue sebut tadi, situ Cisanti inilah yang merupakan hulu dari Sungai Citarum, salah satu sungai yang ‘punya nama’ di wilayah Jawa Barat itu. Terbukti, di bagian ujung terdapat dam tempat debit air diatur untuk pengalirannya. Saat gue berkunjung, debit air yang ada di danau terlihat kecil, mungkin karena kemarau. Ada beberapa spot yang menjadi favorit untuk berfoto-foto salah satunya adalah sebuah dermaga yang biasa disebut dengan dermaga cinta. Dermaga yang terbuat dari kayu  ini mungkin sekarang agak berbeda dari foto-foto dermaga di artikel-artikel terdahulu, karena sudah direnov sedemikian rupa dengan properti-properti tambahan sehingga tidak terkesan alami seperti dahulu. Dan jika ingin foto pun dikenakan biaya sekitar Rp 2000,-. Entah kenapa dermaga ini jadi dikomersilkan, padahal spot ini ada di dalam kawasan danau dan sebelumnya pun kita sudah bayar tiket masuk. Sempat kecewa, tapi gue coba menghibur diri dengan explore spot-spot bagus lain yang ada di lokasi wisata ini. And finally I found the other spot! Terlihat dari kejauhan sebuah tulisan penanda yang terpampang di sebelah barat danau bertuliskan “KILOMETER 0  CITARUM”. Warnanya pun berubah jadi warna warni, gak merah lagi kayak dulu (di artikel-artikel terdahulu tentang situ Cisanti).












Adem dilihatnya


Udara sejuk masih menyelimuti kawasan situ Cisanti meski hari semakin siang. Sesekali cuaca tertutup kabut dan mendung mengingat area ini berada di pegunungan. Gue pun berniat menjelajah setiap sudut danau dengan berjalan menyusuri jalan setapak menuju lokasi tulisan KM 0 Citarum tadi. Banyak juga yang foto-foto di sana. Jangan takut tersesat saat berkeliling di tepi danau ini karena jalanannya sudah jelas. Beberapa tempat sampah pun tersedia di sini, so gak ada alesan lagi buat kalian buang sampah sembarangan ya. Konon, ada beberapa mata air yang mengalir ke situ Cisanti ini. Dan sebagai hulu dari aliran sungai Citarum, pastinya situ Cisanti punya peranan penting untuk kehidupan di bawahnya. Aliran sungai Citarum juga merupakan bagian dari beberapa waduk besar yang ada di Jawa Barat seperti waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur. Dan waduk-waduk ini pun jadi salah satu sumber listrik yang dimanfaatkan untuk penerangan Jawa-Bali. Selain itu pun dimanfaatkan sebagai sumber air minum daerah-daerah penyangga ibukota, dan pastinya DKI Jakarta. Jadi kebayang kan kalau aliran sungai Citarum ini terganggu ekosistemnya, entah itu karena pengrusakan ataupun pencemaran sampah dan limbah. Diperlukan kesadaran untuk tetap menjaga kelestarian di bagian hulu, sehingga akan mengurangi terjadinya kerusakan di bagian hilir. Dimulai dari ha terkecil dengan tidak membuang sampah sembarangan di area wisata, salah satunya Situ Cisanti yang merupakan hulu dari sumber kehidupan. 

Komentar

POPULAR POST