Mengunjungi Kampung Naga, Tasikmalaya
Setiap
perjalanan yg gue lakuin, pastilah bawa tongsis buat pelengkap foto-foto. Bukan
niat ngalay sih, tapi buat jaga-jaga aja kalo lagi ngetrip sendiri, buat
garuk-garuk punggung, dan lain sebagaianya. Tongsis bisa dibilang barang modern
dan kekinian. Dan semua juga tau fungsi utamanya adalah buat selfie, terutama
kalo kamu lagi pergi plesiran ke suatu tempat. Tapi perjalanan gue kali ini
bikin gue agak risih buat foto-foto pake tongsis. Kenapa? Karena kali ini gue
jalan-jalan ke sebuah daerah pedesaan, sebuah kampung adat, yang jauh dari
kesan modern dan mewah ataupun kekinian. This is... Kampung Naga, di
Tasikmalaya.
Sebuah
kampung adat yg suasananya masih asri dan tentraaaaam banget, hahaha, ada di
sebuah daerah di Kabupaten Tasikmalaya. Kampung adat ini terletak di Desa
Negalasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Jangan dikira akses ke
kampung Naga ini sulit dan penuh tantangan atau di desa terpencil. Enggak!
Justru kampung adat ini terletak kurang lebih 1 km dari jalan raya penghubung
Kabupaten Garut dan Tasikmalaya. Begitu turun bis langsung sampai di gerbang
utama Kampung Naga. Kalo kalian dari arah Jakarta dan sekitarnya, bisa naik bis
Karunia Bakti jurusan Singaparna (Tasikmalaya) karena bis ini yg menuju
Tasikmalaya via Kota Garut dan melewati Kecamatan Salawu, akses utama menuju
Kampung Naga. Kalo bis jurusan tasik lainnya biasanya lewat jalur Malangbong,
dan langsung mengarah ke kota Tasikmalaya. Jadi jangan salah pilih bis ya.
Ongkos naik bis Karunia Bakti jurusan Singaparna ini adalah Rp 65.000,-
(November 2015). Jadi tinggal naik bis ini dari Jakarta, bilang aja sama
supirnya nanti minta turun di Kampung Naga. Udah pada tau kok, don’t worry
guys!
Gerbang utama Kampung Naga, tepat di sisi jalan raya Garut-Tasikmalaya |
Sesampainya
di laut,, kukabarkan semuanya.. ehhh kok malah nyanyi?!! Skip! Sesampainya di
gerbang masuk Kampung Naga, di situ ada tempat parkir luas dan ada sebuah tugu
kujang. Tugu kujang di sini gak setinggi tugu yg di Kota Bogor guys, tapi kita
bisa lihat dengan jelas banget, kalo kujang di pintu masuk Kampung Naga ini
benar-benar asli dan terpampang nyataahh (halahhh!). Buat yg belum tau kujang,
Ok gw jelasin. Anak-anak... kujang adalah senjata khas dari Jawa Barat, sekilas
emang terlihat seperti pedang, tapi agak pendek dan bentuknya unik. Untuk lebih
jelasnya, let me see you the picture below!
Lanjut
guys, utk bisa berkunjung ke Kampung Naga ini ada baiknya kita meminta bantuan
guide yg udah standby buat mengantar kita. Kenapa perlu guide? Karena selain
bisa memandu kita dan memberikan informasi-informasi tentang seluk beluk
kampung Naga, guide ini juga akan memberitahu kita tentang etika-etika yg harus
diperhatikan saat berada di sini, salah satunya adalah adanya sebuah bangunan
yg tidak boleh difoto. Nah... penting ini. Apalagi sekarang kan lagi
demen-demennya orang-orang foto sesuka hati pakai tongsis, monopod, tripod, dan
pod-pod yg laen (ahahaaha). Gak ada salahnya kita mengabadikan keunikan kampung
adat yg satu ini, tapi patuhi aturan ya. Untuk tarif sewa guide di sini adalah
seikhlasnya. Kebanyakan artikel menyebutkan minimal Rp 50.000,-. It’s up you
guys! Jangan khawatir kekurangan informasi, karena guide-guide di sini adalah
warga sekitar Kampung Naga yg sudah ‘disiapkan’ sedemikan rupa untuk tidak
hanya bisa mengantar kita saat berkunjung, tapi juga bisa menjelaskan tentang
Kampung Naga secara informatif. Biasanya mereka berpakaian hitam-hitam dan ikat
kepala, Sunda pisan lah pokokna mah
hehehe.
Menuju
area pedesaan Kampung Naga, pertama kita akan menuruni ratusan anak tangga yg
sudah disemen sedemikan rupa sehingga memudahkan pengunjung utk menuju ke
Kampung Naga. Dulunya tangga-tangga ini hanya dirapikan dengan bambu untuk
memudahkan pijakan. Namun pada tahun 1993 ditembok dan tahun 2009 direnovasi
dengan bantuan dana dari pemerintah. Jumlah anak tangga ini pun simpang siur. Ada
yg bilang 420 buah, 300-an , dsb. Bahkan banyak yg mencoba menghitung sendiri
saat berangkat maupun pulang, jumlahnya gak sama (nah loohh!). Cukup
mengasyikan saat menuruni anak tangga ini. Melewati rumah-rumah warga, kemudian
akan melewati satu spot dimana kita bisa melihat kampung Naga dari kejauhan. Memang
benar, kampung Naga ini berada di suatu lembah subur yg diapit oleh tebing dan
hutan, serta sungai Ciwulan yg mengalir sebagai sumber irigasi di sini. Di
kampung Naga ada 2 hutan, yakni hutan larangan dan hutan keramat. Dinamakan
hutan larangan karena siapapun dilarang untuk memasuki kawasan ini, termasuk
mengambil apapun dari hutan ini seperti kayu bakar, dll. Jangankan kayu,
ranting yg udah jatuh pun dilarang untuk diambil. Gak heran kalo hutan ini masih
rimbun oleh pepohonan. Sedangkan hutan keramat, hanya orang-orang tertentu yg
boleh masuk kesini karena di sini ada makam karuhun, atau yg berarti leluhur.
Masyarakat Kampung Naga benar-benar mematuhi segala aturan, terutama hal-hal yg
pamali. Karena mereka yakin jika melanggar akan dapat akibatnya sendiri. Selain
hutan-hutan, area Kampung Naga ini juga didominasi oleh persawahan. Beruntung,
pas gue berkunjung kesini bertepatan saat pada menguning dan bentar lagi masuk
musim panen. Jadi dari kejauhan keliatan banget warna kuning, menambah
keindahan di Kampung Naga ini. Dan setelah selesai menuruni anak tangga, kita bakal berjalan melewati jalan di sisi persawahan dan sungai Ciwulan. Sepanjang perjalanan menuju kampung Naga ini di kanan kiri jalan banyak dipasang tempat sampah unik yg terbuat dari anyaman bambu. Sungguh kreatif! Tentunya ini dimanfaatkan untuk menjaga kebersihan lingkungan di kampung naga.
Sungai Ciwulan yg mengalir di sisi Kampung Naga |
Dari
tadi kita udah berkali-kali nyebut nama “Kampung Naga”. Tapi sebenernya kenapa
sih dinamakan kampung Naga? Nah... ternyata berdasarkan info dari salah sau
pemandu, kata Naga berasal dari bahasa sunda yakni kata “Nagawir atau dinagawir”,
dimana gawir sendiri memiliki makna tebing. Jadi dinamakan kampung Naga karena
kampung adat yg luasnya hanya 1,5 hektar ini dikelilingi tebing dan berada di
sebuah lembah. Bukan karena ada naganya ya... :P
Jumlah
bangunan di kampung Naga ini ada 113 bangunan, yg terdiri atas 110 rumah, dan 3
bangunan berupa sarana umum yaitu masjid, balai pertemuan dan lumbung bersama. Bangunan
di sini tidak bertambah jumlahnya, karena emang udah tidak ada lahan lagi untuk
membangun rumah. FYI guys, di area kampung naga ini ada batas-batas wilayah yg
membatasi area mana saja yg bisa digunakan untuk membangun rumah. Dan 1 rumah
hanya boleh dihuni oleh 1 keluarga. Maka gak heran kalo di area luar kampung
naga banyak masyarakat yg masih keturunan dari kampung Naga dan hidup di luar
wilayah dan adat kampung Naga. Mereka-mereka ini disebut ‘Sanaga’, yakni warga
keturunan kampung naga yg memutuskan untuk hidup di area luar kampung adat.
Sehingga di kampung Naga sendiri ada hanya ada 108 kepala keluarga, dan 80%
-nya hidup di luar wilayah adat. Dan masalah pernikahan pun warga kampung Naga
tidak melarang dengan warga manapun (boleh dari luar) asalkan masih seiman atau satu kepercayaan.
Yang
unik lagi dari kampung naga adalah bangunan rumah. Atapnya terbuat dari daun tepus dan ijuk, dan
saat hujan pun gak bakal bocor.Semua rumah disini menghadap ke utara dan
selatan, kecuali untuk bangunan sarana umum. Rumah-rumah di sini terlihat
saling berhadapan. Dengan begini mereka akan terlihat menjadi lebih akrab
dengan tetangga, karena memang ini yg mereka lakukan selama ini, hidup
berdampingan dengan landasan kerukunan. Dinding rumah pun hanya terbuat dari bilik
anyaman bambu. pada pintu setiap rumah terpasang sebuah benda yg dipercaya
sebagai tolak bala. Jika kalian melihat dinding berwarna putih di sini, itu
bukan karena cat-cat yg biasa digunakan untuk mengecat rumah-rumah tembok. Untuk
pengecatan, rumah-rumah kampung naga hanya boleh menggunakan cat dari kapur,
karena menurut mereka ini lebih alami tanpa bahan kimia. Tipe rumah di sini
adalah rumah panggung. Di bagian bawahnya dimanfaatkan untuk menyimpan stock
kayu bakar dan kandang ternak, seperti ayam. Lantai rumah hanyalah papan kayu,
dan untuk dapur, papan-papan kayu sebagai lantai ini didesain tidak rapat dan
ada celah. Ini dimaksudkan kalo sewaktu-waktu makan dan ada makanan yg jatuh
atau tersisa, bisa langsung di buang melalui celah-celah lantai tadi, dan bisa
langsung dimakan hewan ternak di bawahnya. Benar-benar sangat bijak ya.. Dan banyaknya
ventilasi bakal bikin kita berasa adem dan sejuk pas di ada dalam rumah.
Tolak bala yg ada di setiap pintu rumah |
Selain
bangunan rumah, bangunan lain adalah masjid sebagai sarana ibadah bersama.
Masjidnya pun gak semegah masjid-masjid pada umumnya. Juga hanya berlantaikan papan kayu, terdapat
kentongan dan bedug di luarnya, dan terlihat jelas batas antara tempat pria dan
wanita di dalamnya. Masyarakat kampung Naga memeluk agama Islam. Sehingga
mereka juga memiliki kesenian yg disebut “terbang” (bukan terbang ala burung
atau superman), yakni sejenis kesenian bermain rebana yg biasa dimainkan untuk
mengiringi lagu-lagu bernuansa islami. Selain itu ada kegiatan-kegiatan
keagamaan yg dilakukan pada hari-hari tertentu, terutama saat hari-har besar
agama Islam. Anyway, di kampung Naga ini tidak boleh menggunakan alat-alat
musik tradisional, guys, bahkan pengunjung yg datang pun tidak diperbolehkan
membawa masuk ke area ini.
Masjid |
Bangunan
lainnya adalah lumbung padi yg digunakan untuk menyimpan stock padi hasil
panen. Mereka memiliki cara tersendiri agar jangan sampai mereka kekurangan
bahan pangan, terutama beras. Gw sempat bertemu dan ngobrol-ngobrol sama
ibu-ibu yg lagi numbuk padi buat diambil berasnya. Beliau bilang, padi yg lagi
ditumbuk adalah padi dari hasil panen tahun kemarin. Wooww!! Padahal sebentar
lagi juga musim panen. Dan hasil panen mereka sebagian dijual ke luar. Tapi
mereka harus memperhitungkan kebutuhan mereka terlebih dahulu. Jadi setiap
panen gak langsung dijual-jualin gitu aja. Namanya juga kampung adat, pasti ada
cara-cara adat tersendiri teruama saat menjelang musim panen tiba. Sebuah alat
musik khas Jawa Barat yg juga dimiliki oleh warga kampung Naga, bernama
Karinding dan Celempung yg dimainkan secara bersamaan saat akan musim panen.
Harvest time is coming soon! |
Selain
rumah, masjid, lumbung padi, ada juga bangunan berupa balai pertemuan yg biasa
digunakan untuk berkumpul. Dan yg satu ini adalah bangunan yg tidak boleh
difoto oleh siapapun, yaitu “Bumi Ageung”. Bangunan ini gak jauh beda sama
bangunan yg lain, tapi letaknya emang agak tersembunyi, dikelilingi
tanaman-tanaman pagar. Info dari pemandu, bangunan ini digunakan untuk
menyimpan benda-benda pusaka peninggalan leluhur kampung naga.
Masyarakat kampung naga hidup dalam kesederhanaan. Yang unik di sini tidak ada aliran listrik. Jadi klo berkunjung kesini jangan sekali-sekali numpang nge-charge HP karena gak ada sumber arus listrik. Namun mereka tidak melarang penggunaan alat-alat elektronik seperti TV, radio, dan mereka bisa menggunakan accu sebagai sumber listriknya. Untuk penerangan, mereka menggunakan lampu tempel dengan bahan bakar minyak tanah. Saat ada konversi minyak tanah ke gas beberapa tahun yg lalu, warga kampung naga sempat keberatan dengan harga minyak tanah yg menurut mereka cukup memberatkan. Mereka tetap ingin menggunakan minyak tanah, dan enggan memakai kompor gas. Setelah melalui perundingan, akhirnya warga disini mendapat keringanan berupa subsidi minyak tanah, sehingga mereka bisa mendapatkan harga 1 liternya seharga Rp 3.500,-. Ada koperasi di dekat area parkir di luar kampung naga yg menyediakan kebutuhan minyak tanah. Meski demikian, pemerintah pernah menawakan agar kampung adat ini dialiri arus listrik, namun warga menolak. Dengan tidak menggunakan listrik menurut mereka akan lebih aman dari bahaya korsleting yg bisa menimbulkan kebakaran.
Berbicara
tentang mata pencaharian, warga kampung naga adalah petani dan pengrajin.
Selain bercocok tanam di sawah, mereka juga ahli dalam hal pembuatan kerajinan
tangan yang berbahan baku kayu, bambu, dsb.
Ada tas, replika mobil antik, gelas dari potongan bambu,
peralatan-peralatan dapur, gantungan kunci dan masih banyak lagi. Gak sedikit
dari rumah-rumah di sini yg di depannya memajang sekaligus menjual hasil karya
mereka. Gak cuma di sini aja guys, mereka juga memasarkan hasil kerajinan
tangan mereka ke luar, seperti Kota Tasikmalaya, Garut, dan sekitarnya. Masalah
kualitas gak kalah saing deh sama hasil karya dari daerah lain. Dan harga nya
pun bervariasi. Sekedar buat kenang-kenangan, kemarin gw sempatin buat beli
gantungan kunci, khas oleh-oleh Kampung Naga. Lumayan kan, bisa bantu
meningkatkan perekonomian warga setempat, sekalian promosi ke kalian guys,
hahaha!
Selain
area persawahan, di kampung Naga ini juga banyak terdapat perempangan atau
kolam-kolam ikan :D . Mulai dari ikan mujair, ikan mas, ikan lele, dll. Bahkan
ada ikan lele yg gedenya segede paha Nicky Minaj (bahahahaha..). Jangan heran
guys, kalo ikan di sini gede-gede, karena di setiap kolam ikan biasanya ada ‘toilet-toilet’
sederhana yang biasa digunakan warga untuk buang hajat hehehe. Yahh,
begitulah.. jadi ketika loe melipir ke empang-empang ini loe pasti bisa
ngebayangin apa itu yg disebut ‘circle of life’. Jadi apa yg ‘dibuang’ oleh
warga, akan dimakan oleh ikan-ikan, lalu ikannya juga dimakan lagi. Hmmmmm..
Banyak
sekali orang yg mendeskripsikan tentang prinsip hidup masyarakat Kampung Naga. Tapi
menurut gw, yg pasti masyarakat di kampung adat ini hidup berdampingan dengan
alam. Mereka sadar bahwa menjaga kelestarian alam adalah hal penting dalam
hidup mereka sehar-hari, dan mereka konsisten akan hal ini dengan tidak merusak
alam sekitar. Ada benarnya juga sih, kebahagiaan kadang gak harus dengan pola
hidup mewah dan serba ada. Tapi belajar dari kearifan lokal warga kampung Naga,
kita bisa sadar kalo hidup dalam kesederhanaan pun bisa sejahtera asalkan kita
terus menjaga keseimbangan hubungan dengan sesama, termasuk dengan alam. So,
kalo loe dateng berkunjung ke sini, jangan cuma asik foto-foto, tapi juga coba
amati, pelajari dan ambil pelajaran maupun pengalaman dari budaya maupun
kearifan lokal di Kampung Naga.
Kucing di Kampung Naga, ada yg lebih lucu dari ini dan mirip kucing Angora |
Komentar
Posting Komentar